Hidayatullah.com — Pemimpin Imarah Islam Afghanistan, Taliban, melarang total penggunaan mata uang asing di negara itu, sebuah langkah yang pasti akan menyebabkan gangguan lebih lanjut terhadap ekonomi yang sudah di ambang kehancuran oleh penarikan tiba-tiba dukungan internasional setelah kelompok memimpin.
Pengumuman mengejutkan pada Selasa itu datang beberapa jam setelah serangan bom dan senjata terkoordinasi menarget RS militer terbesar Kabul. Serangan teror itu menewaskan 19 orang dan melukai puluhan lainnya.
“Imarah Islam menginstruksikan semua warga, pemilik toko, penjual, pengusaha dan masyarakat umum untuk … melakukan semua transaksi dengan Afghani (mata uang Afghanistan), dan secara ketat menahan diri menggunakan mata uang asing,” kata Taliban dalam pernyataan yang diunggah online oleh jubir Zabihullah Mujahid, Al Jazeera melansir Rabu (03/11/2021).
“Siapapun yang melanggar instruksi ini akan menghadapi tindakan hukum,” lanjut pernyataan itu.
Warga Afghanistan masih banyak yang menggunakan dolar AS di pasar-pasar, sedangkan daerah perbatasan menggunakan mata uang negara tetangga seperti Pakistan dalam perdagangannya.
Pemerintah Taliban ingin melepaskan miliaran dolar cadangan bank sentral ketika negara itu menghadapi krisis uang tunai dan kelaparan.
Pemerintah Afghanistan sebelumnya, yang didukung Barat, telah menyimpan miliaran dolar berbentuk aset di luar negeri. Itu disimpan di beberapa bank sentral di Eropa dan di Penyimpanan Federal Amerika Serikat.
Namun setelah Taliban mengambil alih pada Agustus, AS serta Bank Dunia dan IMF memutuskan untuk memblokir akses Afghanistan ke aset dan dana pinjaman senilai lebih dari $ 9,5 miliar.
Keputusan itu berdampak buruk pada perawatan kesehatan Afghanistan dan sektor lainnya, yang berjuang untuk beroperasi di tengah kurangnya dana.
Semakin dekatnya musim dingin, Sulaiman Bin Shah, mantan wakil menteri industri dan perdagangna, mengatakan pada Al Jazeera bahwa rakyat Afghanistan “membayar harga yang sangat mahal karena lambatnya proses diplomatik dan negosiasi”.
Program Pangan Dunia mengatakan sekitar 22,8 juta orang – lebih dari setengah dari 39 juta penduduk Afghanistan – terancam kelaparan. Meningkat dibandingkan dengan 14 juta hanya dua bulan lalu.
Krisis pangan, yang diperburuk oleh perubahan iklim, telah terjadi di Afghanistan bahkan sebelum pengambilalihan oleh Taliban.
Kelompok-kelompok bantuan mendesak negara-negara, yang prihatin dengan HAM di bawah Taliban, untuk terlibat dengan penguasa baru untuk mencegah keruntuhan yang mereka katakan dapat memicu krisis migrasi serupa dengan eksodus 2015 dari Suriah yang mengguncang Eropa.
Kepergian pasukan pimpinan AS dan pendonor internasional meninggalkan negara itu tanpa bantuan yang membiayai tiga perempat belanja publik.
Kementerian keuangan mengatakan pihaknya mengambil pajak harian sekitar 400 juta orang Afghanistan ($ 4,4 juta).*