Hidayatullah.com—Kelompok-kelompok peduli HAM mendesak pemerintah Singapura untuk menghentikan rencana eksekusi seorang terpidana penyelundupan narkoba pekan ini, karena orang tersebut merupakan penderita ketidakmampuan belajar dan pelaksanaan hukuman mati tersebut merupakan pelanggaran kejam terhadap hukum internasional.
Nagaenthran K. Dharmalingam, warga negara Malaysian, ditangkap pada bulan April 2009 saat berusia 21, karena berusaha menyelundupkan 43 gram heroin ke Singapura. Narkoba itu direkatkan ke pahanya. Dia dijatuhi hukuman mati pada tahun 2010 dan, setelah menghabiskan lebih dari 12 tahun menunggu giliran pelaksanaan hukuman, sekarang menghadapi eksekusi pada 10 November.
Keputusan tersebut banyak dikecam oleh kelompok-kelompok internasional termasuk Human Rights Watch, International Federation for Human Rights, Anti-Death Penalty Asia Network dan Amnesty International. Sebuah petisi online untuk mendukung Nagaenthran menarik lebih dari 62.000 tanda tangan.
Menurut kelompok-kelompok peduli HAM itu, di persidangan terungkap bahwa Nagaenthran hanya memiliki IQ 69, yang mengindikasikan bahwa dia memiliki kesulitan belajar dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Para pendukungnya mengatakan ada bukti bahwa Nagaenthran dipaksa menjadi kurir narkoba dan dia merupakan korban perdagangan manusia.
Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yaakob sudah bersurat kepada PM Singapura Lee Hsien Loong meminta agar hukuman pemuda itu diringankan, menurut laporan media Malaysia, lansir The Guardian Senin (10/11/2021).
Perwakilan Uni Eropa untuk Singapura dikabarkan juga sudah mengeluarkan pernyataan menyeru agar Singapura menghentikan eksekusi tersebut.
Tidak hanya itu, lebih dari 200 anggota keluarga dan teman terpidana mati yang menunggu giliran eksekusi juga meminta agar Nagaenthran diselamatkan dari hukuman mati serta mendesak agar hukuman mati dihapus.
“Banyak terpidana mati di Singapura – seperti Nagen dan orang-orang yang kami cintai – berasal dari kalangan keluarga dengan kehidupan yang serba kekurangan dan kesulitan, sehingga mereka banyak yang terjerat dalam perdagangan narkoba. Seringkali, sebagai akibat dari marginalisasi yang dialami, mereka menemukan terjebak dalam situasi putus asa dan akhirnya terperangkap,” bunyi sebuah surat terbuka yang dipublikasikan Transformative Justice Collective.
Sekelompok politisi terdiri dari delapan anggota parlemen Inggris dan rekan-rekannya menulis surat kepada Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss meminta agar mengirim utusan kepada rekannya di Singapura guna “memastikan bahwa korban perdagangan manusia yang cacat intelektual tidak dieksekusi setelah dia mengalami apa yang bisa dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap keadilan.”
Singapura memiliki undang-undang narkoba yang termasuk paling keras di dunia, dan hukuman mati wajib bagi siapa pun yang terbukti bersalah membawa masuk lebih dari 15 gram diamorfin. Namun, amandemen yang disahkan pada tahun 2014 memberikan keleluasaan kepada pengadilan untuk menjatuhkan hukuman seumur hidup dan bukan hukuman mati jika terdakwa hanya bertindak sebagai kurir dan “menderita kurang akal yang secara substansial mengurangi tanggung jawab mentalnya atas tindakan dan kelalaiannya sehubungan dengan pelanggaran tersebut.”
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Kelompok-kelompok hak asasi mengatakan bahwa mengeksekusi seseorang yang memiliki disabilitas intelektual atau psikososial merupakan pelanggaran terhadap hukum dan standar internasional.
Dalam sebuah pernyataan pekan lalu, Kementerian Dalam Negeri Singapura mengatakan bahwa Nagaenthran “telah menjalani proses legal penuh berdasarkan hukum, dan diwakili oleh penasihat hukum selama proses tersebut. Permohonannya untuk pengampunan dari presiden tidak dikabulkan.
Kemendagri Singapura juga mengatakan bahwa Nagaenthran tertangkap membawa 42,72 gram diamorfin. Jumlah itu setara dengan sekitar 3.560 sedotan heroin, yang cukup untuk memenuhi kecanduan sekitar 510 pecandu selama sepekan.*