Hidayatullah.com — Permendikbud No. 30 Tahun 2021 terus-menerus mendapatkankan sorotan tajam, kali ini dari aktivis perempuan dari Bandung, Lewinda Jotari. Dalam wawancara via Whatsapp Rabu (03/11) silam, Muslimah yang akrab dengan nama panggilan Jo ini mengungkapkan bahwa Permendikbud tersebut sama saja dengan draft RUU PKS yang dulu menuai penolakan dari banyak pihak.
“Menurut saya Permendikbud No. 30 tahun 2021 itu seperti copy-paste saja dari draft RUU PKS yang dulu. Padahal draft RUU itu sangat bermasalah dan sudah banyak yang menolaknya,” ujar alumnus Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Bandung ini.
Persamaan di antara keduanya, menurut Jo, terlihat sangat jelas. “Kelihatan dari definisi kekerasan seksual yang digunakan. Ada frasa relasi kuasa, dan yang jelas masih saja ngotot menggunakan konsep ‘persetujuan’, atau dengan kata lain ‘sexual consent’,” ungkap Jo lagi.
Menurut Jo, Kemendikbud semestinya bersikap bijak dan tidak mudah saja mengeluarkan peraturan yang sebenarnya sangat bermasalah dan bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.
“Penolakannya kencang sekali, termasuk dari kalangan mahasiswa dan dosen. Kemendikbud semestinya tidak menutup mata dari fakta ini. Kemendikbud semestinya memberi peraturan yang mendidik mahasiswa supaya lebih beradab, lebih bermoral. Kita apresiasi usaha Mendikbud untuk melindungi kampus dari kejahatan seksual, tapi ya kalau peraturannya nyontek draft RUU PKS, kita akan tetap menolak,” ujar Jo tegas.
Persoalan yang fundamental dalam peraturan ini, menurut Jo, adalah munculnya implikasi bahwa seks boleh dilakukan asalkan ada persetujuan, meski di luar pernikahan. Padahal, perzinaan telah menjadi penyakit sosial yang sangat serius dan memberi dampak yang sangat mengerikan bagi masyarakat.
“Akan lebih bijak lagi kalau Kemendikbud memasukan hubungan seksual di luar nikah sebagai salah satu perbuatan yang dilarang, karena itu termasuk kejahatan seksual juga, meski tanpa paksaan sekalipun,” tambah Jo lagi.
Jo juga mengkritisi salah satu bentuk kekerasan seksual yang disebutkan dalam Permendikbud tersebut, yaitu berkaitan dengan identitas gender. “Gender itu berbeda dengan jenis kelamin. Ia bisa dihubungkan dengan ekspresi atau orientasi seksual seseorang. Ini bertentangan dengan norma dan ajaran agama yang berlaku di masyarakat kita, karena seolah semua ekspresi dan orientasi seksual itu dibenarkan,” tandasnya.
Kemiripan yang sangat jelas di antara Permendikbud No. 30 Tahun 2021 dengan draft RUU PKS memberikan kesan buruk bagi Kemendikbud sendiri. “Kesan yang terlihat, karena gagal disahkan sebagai undang-undang, sekarang dijadikan Permendikbud. Karena isinya sama saja dengan RUU PKS, maka wajar kalau sekarang pun ditolak juga oleh masyarakat yang peduli dengan kondisi moral generasi muda bangsa ini,” pungkas Jo. (SPI Media Center)