Hidayatullah.com–Vatikan telah meluncurkan peraturan baru terkait pelecehan seks terhadap anak di gereja Katolik, setelah berbagai skandal merusak reputasinya. Namun, peraturan revisi tersebut justru dianggap berpihak kepada pelaku dan bukan korban.
Menurut peraturan lama, seorang korban hanya bisa menuntut pendeta atau staf gereja yang berbuat tidak senonoh terhadapnya dalam masa 10 tahun setelah ia berusia 18 tahun. Dalam peraturan baru, masa sepuluh tahun itu dilipatgandakan menjadi 20 tahun. Menurut pengamatan Radio Neteherland, banyak dari korban tidak melaporkan kasusnya bertahun-tahun setelah kejadian.
Bert Smeets dari Mea Culpa United, sebuah lembaga yang mengorganisasi korban mengatakan, seharusnya tidak ada batasan waktu dalam hal pelaporan kasus.
“Pelanggaran seksual adalah kasus seumur hidup. Gereja melakukan ekskapisme. Mereka mencoba menyesatkan Anda–mereka memberimu tambahan beberapa tahun, tapi masalahnya akan tetap sama … Meskipun Anda memiliki waktu 20 tahun setelah berusia 18, sebagian besar kasus terhalangi oleh batasan itu.”
Peraturan yang memperbaharui sebuah dokumen yang ditandatangani oleh Paus Paulus II pada tahun 2001 itu tetap tidak menyebutkan bahwa pelaku harus dilaporkan kepada pihak yang berwenang untuk mengurus masalah kriminal atau polisi.
Dengan demikian, kasus penistaan terhadap para bocah oleh rohaniwan akan tetap bersifat rahasia, diurus oleh internal gereja. “Untuk melindungi kehormatan pihak-pihak terkait,” begitu alasan Lombardi sebagaimana dikutip RNW.
Selain itu, kasus pornografi anak oleh rohaniwan disejajarkan dengan kasus pentasbihan pendeta wanita. Yang menurut profesor Peter Nissen, sejarawan dan pakar masalah Vatikan dari Universitas Radbound, Belanda, menunjukkan “kecanggungan” dari gereja.
“Mereka tidak menunjukkan kepedulian yang cukup atas bagaimana publik melihat masalah ini. Mereka tidak menunjukkan keseriusan dalam menanggapi pengaduan pelanggaran seksual dan pornografi anak, dengan menyamakan perlakuannya dalam menangani kasus pentasbihan pendeta perempuan.”
Lebih lanjut menurut Nissen, bukannya memperbaiki keadaan, gereja justru membuat situasi lebih buruk.
“Saya merasa itu akan menjadi bencana kehumasan gereja selanjutnya. Kita sudah pernah melihat sebelumnya dan perubahan ini tidak cukup untuk meyakinkan para kritikus bagaimana gereja menangani masalah pelanggaran seksual.Dan sekali lagi, ini menunjukkan semacam kecanggungan dalam menangani opini publik.”
Sementara itu menurut Barbara Doris dari Survivors’ Network for Those Abused by Priests, petunjuk Vatikan yang diperbaharui itu bisa disimpulkan dalam tiga kata: “missing the boat”, alias ketinggalan kereta.
Sebagaimana dikutip Jakarta Post (16/7) lalu, ia mengatakan, “Mereka (hanya perlu) melakukan prosedur kecil untuk mengakhiri masalah ini: memecat pendeta pedofil,” katanya. “Ratusan ribu anak telah dicabuli oleh pendeta dan staf gereja lainnya.” [di/rnw/jpid/hidayatullah.com]