Hidayatullah.com– Emmanuel Macron kembali terpilih sebagai presiden Prancis atas Marine Le Pen untuk kedua kalinya. Dengan perolehan suara 58 persen sepertinya itu adalah kemenangan istimewa, tapi tidak demikian jika melihat fakta banyak pemilih tidak memberikan suara.
Dalam pemilihan putaran kedua yang digelar hari Ahad (24/4/2022), Macron memperoleh suara 58,54 persen, unggul dari lawannya Marine Le Pen yang mendulang 41,46 persen suara.
Akan tetapi, tingkat abstain dalam pemilihan putaran kedua tahun ini mencapai 28,01 persen, atau yang tertinggi dalam pilpres putaran kedua di Prancis sejak 1969. Artinya, Macron hanya dipilih oleh 38,52 persen pemilih terdaftar, sementara Le Pen dipilih oleh 27,27 persen pemilih terdaftar. Sangat tidak istimewa dan bukan kemenangan besar, karena rakyat Prancis yang memilih Macron sesungguhnya tidak sampai setengahnya.
Jean-Luc Melenchon, yang menempati posisi ketiga dalam pemilihan putaran pertama, mengatakan bahwa kemenangan Macron diraih sementara banyak rakyat yang bersikap abstain, membiarkan surat suaranya kosong dan bahkan banyak yang merusak surat suaranya.
Seorang wanita bernama Julie, 29, yang di putaran pertama memilih Mélenchon, mengaku datang ke tempat pemungutan suara hari Ahad lalu dengan berat hati, ragu-ragu.
Namun, karena dia tidak ingin politisi rasis Marine Le Pen terpilih, akhirnya dia memberikan suaranya.
“Jika Anda dihadapkan dengan kemungkinan terpilihnya calon dari partai fasis, Anda akan pergi – Anda akan memilih untuk menentangnya,” ujar Julie, seperti dikutip RFI Selasa (26/4/2022).
Lucille, 26, juga ragu-ragu untuk berangkat ke tempat pemungutan suara pada hari Ahad. Namun, karena dia menilai akan lebih berbahaya jika Le Pen yang terpilih, maka dia akhirnya memilih Macron.
“Saya memilih yang tidak terlalu buruk. Dengan menimbang soal imigrasi, bagaimana orang asing diperlakukan, bantuan sosial,” ujarnya. “Saya lebih suka program bantuan sosial tanpa memandang latar belakang kebangsaan,” imbuhnya memberi contoh. Sebagaimana diketahui, Marine Le Pen dikenal sebagai politisi rasis.
Dalam pemilihan putaran kedua, secara resmi dinyatakan 6,3 persen surat suara kosong, sementara 2,25 dinyatakan invalid. Jadi total 8,6 persen surat suara dianggap tidak layak. Angka itu lebih rendah dibandingkan pemilu tahun 2017, juga Macron vs Le Pen, di mana 11,52 persen surat suara dianggap tidak layak.
“Front Republik” yang digaungkan Macron kali ini tetap unggul dibandingkan ideologi rasis Marine Le Pen. Namun, tampak gaungnya tidak sekuat dulu.
Dinasti Le Pen sepertinya memang jawara nomor dua. Dalam setiap pemilu sejak 2002, ayah Marine Le Pen, Jean-Marie Le Pen, selalu lolos ke putaran kedua, tetapi tidak pernah menang melawan jawara nomor wahid kala itu Jacques Chirac.*