Lima tahun lalu, 30 Agustus 2017, tentara Myanmar membantai warga desa Min Gyi (Tula Toli). Penyelidik PBB memperkirakan 750 orang Rohingya tewas, termasuk lebih dari 100 anak-anak balita. Korim Ullah, remaja Rohingya berusia 16 tahun, mengisahkan perjuangannya agar lolos dari pembantaian. Kisah ini dimuat di Rohingyaphoto.com.
Pada 30 Agustus 2017, darah berceceran di dusun saya. Keluarga kami pun tercecer. Kami sangat mencintai satu sama lain, tetapi pada hari itu, kami sepertinya tidak bisa saling menjaga.
Waktu itu saya diminta untuk menjaga nenek, tetapi saya tidak berdaya. Nenek dibantai, disembelih di tepi sungai. Tragedi itu terus membayang di pikiran saya, hingga sekarang.
Katanya Aman
Tanggal 20 Agustus 2017, ketua desa Aung Kyaw Sein mengadakan pertemuan di masjid Chor Para. Saya turut hadir. Dia memberitahu bahwa tak lama lagi militer akan memasuki desa.
Kata ketua desa,kami tidak boleh pergi, sebab akan aman. Militer mungkin akan membakar satu atau dua rumah, tetapi tidak akan menyakiti siapapun, katanya.
Tidak ada yang tahu bahwa itu seperti strategi untuk memudahkan pembantaian. Pada tanggal 29 Agustus 2017, pesan itu diulangi melalui asisten ketua desa, Mohammed Sea Disk.
Meskipun dikatakan aman, tetap saja orang-orang merasa khawatir. Bisa saja militer akan melakukan lebih dari sekadar membakar beberapa gubuk. Akhirnya, beberapa orang meninggalkan desa, termasuk ketua desa.
Nenek juga mengusulkan agar kami semua pergi, tetapi kakek tidak menyetujui. Kakek amat mencintai harta bendanya, rumahnya, tanah, dan kekayaannya. Itulah sebabnya kakek bersikeras agar kami tetap tinggal di dusun Doin Para.
Sebagai antisipasi, kami menyembunyikan barang-barang berharga seperti emas, dokumen tanah, dan sebagainya. Kami menggali lubang di dalam rumah, dan barang-barang itu dimasukkan. Dan hingga kini kami tidak pernah bisa mengambilnya kembali.
Akhirnya kami memutuskan untuk pindah rumah dari Doin Para ke Chor Para. Tula Toli terdiri dari beberapa dusun. Lokasi dusun Doin Para dekat dengan dusun Fok Para, kampung orang Rakhine.Kira-kira hanya 2 menit berjalan kaki. Juga dekat dengan pos polisi perbatasan. Karena itulah Doin Para tergolong tidak aman bagi kami.
Adapun Chor Para berada di tepi sungai. Lokasinya lebih baik, maka kami pindah ke sini pada pada 26 Agustus 2017.
Selama itu, perasaan saya terus dilanda kecemasan dan gelisah. Ketika tidur, saya juga mengalami mimpi buruk.
Ditembaki, Disembelih, Dibuang, Dibakar
Hari itu Rabu, 30 Agustus 2017, sekitar jam 07.30 pagi. Kakek dan nenek khawatir jika barang-barang berharga yang disembunyikan kemarin hilang. Saya diminta untuk mengantar mereka ke tempat itu lagi, bermaksud untuk mengambil barang secara sembunyi-sembunyi. Setelah tiba, saya kemudian meninggalkan mereka, bergegas kembali ke Chor Para karena ingat ibu.
Sekitar pukul 08.40, terjadilah peristiwa yang tak terlupakan. Hidup kami pun berubah untuk selama-lamanya.
Tiba-tiba terdengar suara tembakan senjata otomatis. Situasi menjadi amat kacau. Orang-orang berteriak bahwa tentara membakari rumah-rumah warga tanpa tersisa.
Kami –ayah, ibu, saudara, dan saya sendiri—berlari berhamburan ke tepi sungai. Kami semua berlari tak ambil peduli pada apapun dan siapapun. Ayah bahkan berlari tanpa melirik ibu atau kami, 6 anaknya.
Saya kemudian disuruh agar mencari kakek dan nenek, untuk membawa mereka ke tempat yang aman. Setelah ketemu, kami kemudian berjalan bersama-sama, dengan penuh ketakutan.
Saat berjalan menuju sungai, kami berpapasan dengan rombongan tentara. Saya melihat dengan mata kepala sendiri, mereka menembak membabi buta tanpa pandang bulu ke segala arah. Bukan hanya dengan senjata biasa, tetapi juga peluncur roket!
Jelas kami semua panik. Saking takutnya, kakek pergi ke satu arah, sedangkan saya dan nenek ke arah lain. Entah kakek menuju ke mana.
Kami berlari ke arah sungai. Pikir saya, ibu dan saudara-saudara saya masih ada di daerah itu.
Benar, dari kejauhan saya melihat ibu tengah bersusah payah menyelamatkan diri dan adik-adik, menyeberangi sungai. Adik saya ada yang digendong di punggung, satu lagi di bahu, dan satu lagi menggelayut di kepala ibu. Sempat terlintas dalam pikiran, “Apakah aku akan melihat mereka lagi?”
Orang-orang berhamburan ke segala arah. Peluru juga beterbangan menerjang siapa saja. Warga yang melompat ke sungai pun ditembaki. Banyak di antara orang-orang itu terus berlari, meskipun tubuhnya penuh luka. Beberapa di antaranya tidak bergerak dan meregang nyawa.
Aparat kemudian menyuruh semua warga agar berkumpul di tepi sungai. Kaum pria dan wanita dipisah. Alhasil, saya harus berpisah dengan nenek serta bibi dan 5 anaknya, yang semestinya saya jaga keselamatannya.
Saya dan beberapa orang pria kemudian perlahan berjalan di persawahan, sembunyi-sembunyi. Kami berusaha untuk setenang mungkin agar tidak ketahuan.
Namun suatu saat posisi kami ketahuan aparat juga. Mereka langsung menghujani kami dengan tembakan. Beberapa orang tertangkap dan dipukuli tanpa ampun. Ada yang minta tolong ke saya, namun saya takut melakukannya. Kami tak berdaya. Saat itu saya juga terus memikirkan kelangsungan hidup sendiri.
Dalam cekaman ketakutan yang amat sangat, saya melihat secara nyata apa yang dilakukan oleh tentara. Selain membawa senjata api, mereka juga membawa pedang, parang, pisau, dan tangki bensin. Dengan senjata itulah saya melihat puluhan orang dibantai.
Ada beberapa warga yang seperti dibiarkan hidup. Namun itu dimaksudkan agar mereka bisa membantu menggali lubang di tepi sungai untuk pembuangan mayat. Setelah tugasnya selesai, orang-orang itu juga disembelih. Tubuh mereka kemudian ditendang ke dalam lubang yang baru saja mereka gali.
Saat itu saya melihat sedikitnya ada tiga lubang. Banyak mayat yang dimasukkan ke situ. Beberapa orang yang masih hidup, hampir mati, juga diseret dan dibuang ke lubang itu.
Tak lama kemudian, aparat menumpuk jerami di lubang-lubang itu. Menyiramkan bensin. Dan … membakarnya. Terdengar jeritan menyayat hati dari orang-orang yang masih hidup di lubang itu. Tubuh mereka akhirnya habis terbakar api yang menyala.
Sungguh tragis, nenek saya juga dibantai. Saya melihat sendiri, dia disembelih dan dibakar. Bibi dan 5 anaknya juga dihabisi. Banyak sekali aksi pembantaian yang saya saksikan, termasuk terhadap anak dan bayi. Tubuh mereka kemudian dibuang ke sungai.
Rahasia Itu
Menjelang siang, hujan turun. Lambat laun api pembantaian Rohingya itu padam oleh air hujan. Permukaan air sungai juga tampak meninggi.
Dengan perlahan, saya merangkak ke arah selatan melalui sawah. Kemudian saya menyeret pohon pisang ke sungai, menggunakannya sebagai rakit. Saya berusaha menyelamatkan diri dan menuju ke arah pantai.
Sampai di pantai Wut Kyain, saya sempat menemukan mayat bayi yang mengambang di atas air. Saya mengambilnya dan meletakkannya di pantai.
Sungguh hari tak terlupakan. Itulah hari kematian dan kehancuran.Namun saya terus berharap agar bisa berjumpa lagi dengan orangtua dan kerabat yang masih hidup. Saya juga percaya akan bisa berjumpa lagi dengan kakek.
Benar saja. Pada sore hari, saya bertemu kembali dengan mereka di Shil Hali. Tangisan kami semua tak terkendali.
Saya tak sampai hati untuk memberitahu tentang tragedi yang menimpa nenek dan bibi. Kepada keluarga, saya hanya mengatakan bahwa saya tidak dapat bertemu dengan mereka.
Sampai hari ini, 5 tahun berlalu, saya belum memberitahu tentang kejadian yang sebenarnya.* (Sumber: Rohingyaphoto.com)