Sambungan artikel PERTAMA
Menurut Kymlicka, minoritas pribumi seharusnya memiliki hak untuk menuntut atau diberi self-government. Dalam konteks berlarutnya konflik dan kekerasan di Patani dengan Thailand, dengan demikian, bisa dilihat adanya konsep nasionalisme yang berbasis pada (nation-state) negara-bangsa di satu pihak dan tidak diberikannya hak self-government kepada kelompok minoritas tersebut di lain pihak.
Selanjutnya, identitas nasional (national identity) biasa dikatakan sebagai suatu fenomena modern yang membentuk solidaritas dari berbagai elemen suatu masyarakat di dalam kawasan terotorial tertentu yang kemudian menjadi bangsa atau negara-bangsa.
Menurut Anthony Smith, identitas nasional adalah sesuatu yang mencakup hampir seluruh dimensi kehidupan sehingga ia menjadi suatu kekuatan yang ekslusif dan inklusif sekaligus. Ia bukan hanya dalam aspek politik, ekonomi tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari atau budaya.
Elemen-elemen tersebut bisa terdiri dari banyak hal seperti etnis, agama, kultur dan kebiasaan lokal, ras dan sebagainya. Meski demikian, identitas nasional tidak meleburkan secara tuntas keseluruhan dari elemen-elemen tersebut. Bangsa dalam pengertian modern sesungguhnya lebih menyerupai apa yang oleh Bennedict Anderson disebut sebagai imagined communities, suatu bentuk masyarakat yang diangankan sebagai satu kesatuan tetapi elemen-elemen di dalamnya sesungguhnya masih bertahan. Identitas nasional, dengan demikian, adalah suatu bentuk hubungan yang bersifat dinamis antara elemen-elemen tersebut yang bisa berubah dari waktu ke waktu lain. Hubungan antara elemen-elemen tersebut terikat oleh suatu perjanjian bersama berupa konstitusi.
Namun betapa pun solidnya identitas nasional tersebut tidak karena desakan dari luar seperti globalisasi maupun yang berasal dari dalam dengan makin tumbuhnya kesedaran akan hak-hak, seperti hak kultural dan keadilan ekonomi minoritas atau mereka yang terpinggirkan dengan berbagai alasan.
Di masa lalu –setidaknya hingga Perang Dunia II tetapi pengaruhnya masih terasa hingga sekarang– identitas nasional bisa berimplikasi bagi usaha penghapusan elemen etnis, kultur lokal, agama demi kesatuan bangsa, dengan cara yang paling halus melalui asimilasi sampai pemaksaan dan kekerasan.
Asumsi identitas nasional yang bersifat homogin dan mencakup itu kini sedang dipertanyakan kembali secara deras dan munculnya faktor global dan kesedaran hak dari elemen-elemen di dalamnya, terutama paska berakhirnya Perang Dingin.
Artinya, identitas nasional sebagai suatu kesatuan yang mencakup dan bentuk solidaritas dalam lingkup teritorial tertentu yang disepakati sebagai suatu negara atau negara bangsa (nation-state), bisa terus dipertanhankan. Namun realitas baru pengaruh global dan bangkitkan kesedaran internal itu menutut adanya suatu bentuk baru hubungan antara elemen di dalam lingkup negara-bangsa itu sendiri.
Baca: Saatnya Mengislamkan Kembali Bahasa Melayu
Dakwah Media BCA - Green
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Fenomena minoritas Muslim di lingkup negara Thailand bisa jadi merupakan bukti dari fenomena tersebut. Meskinpun tuntutan itu muncul sejak kemerdekaan segera setelah Perang Dunia II, tetapi kini mengalami pergeseran yang signifkan.
Misalnya, di satu pihak mereka telah melepaskan tuntutan atas kemerdekaan namun di lain sisi mereka menuntut hak yang lebih substantive misalnya dalam pengelolaan sumberdaya alam dan hak untuk memerintah sendiri (self-government).
Demikian halnya, di dalam minoritas Muslim di wilayah itu juga mengalami pergeseran baik strategi maupun tuntutan. Jika dulu gerakan separatisme cenderung dianggap sebagai representasi satu-satunya bagi minoritas untuk menuntut kemerdekaan maupun otonomi, kini muncul kelompok-kelompok civil society dan bahkan gerakan individu yang cenderung menggunakan public sphere dan penguatan masyarakat sipil sebagai strategi perjuangan untuk mencapai tujuan dan menuntut hak mereka sebagai minoritas.*/ John Patanisia