Hidayatullah.com—Tim penyelidik senjata kimia PBB hari Ahad (15/04/2018) telah memulai memeriksa adegan serangan kimia di Kota Douma, Suriah, yang telah mendorong serangan gabungan AS, Prancis dan Inggris terhadap instalasi militer dan fasilitas senjata kimia di dekat Ibu Kota, Damaskus.
Kedatangan delegasi dari Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) datang ketika militer Suriah mengumumkan bahwa mereka telah “memurnikan” wilayah Ghouta timur, termasuk Douma, setelah kampanye dua bulan yang menewaskan hampir 2.000 warga sipil, akibat bertahun-tahun pengepungan.
Dua tim pencari fakta telah dikirim oleh organisasi yang bermarkas di Den Haag itu untuk mengungkap bukti dugaan adanya penggunaan zat kimia berbahaya dalam serangan di kota Douma pekan lalu, yang menewaskan lebih dari 40 orang.
“Tim tiba di Damaskus kemarin (Sabtu, 14 April 2018) dan diperkirakan akan pergi ke Douma hari ini,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Ayman Soussan.
Baca: Puluhan Orang Mati Tercekik, setelah Rezim Bashar Gunakan Senjata
Delegasi dari Organisasi Larangan Penggunaan Senjata Kimia, yang bermarkas di Den Haag, ditugaskan untuk melakukan investigasi terhadap serangan pada 7 April di Douma, timur Damaskus.
Negara-negara Barat menyatakan bahwa senjata kimia –kemungkinan besar klorin dan sarin—telah digunakan Rezim Bashar al Assad dalam serangan yang menewaskan puluhan warga sipil dan anak-anak.
Soussan berjanji bahwa pemerintah Suriah tidak akan mencegah ahli kimia dari melakukan penyelidikan.
“Kami akan memastikan bahwa mereka dapat bekerja secara profesional, obyektif, adil dan tanpa tekanan,” katanya.
Pemerintah Suriah juga telah menjanjikan bakal membantu secara penuh kerja tim pencari fakta, termasuk masalah keamanan.
“Kami akan memastikan mereka dapat bekerja secara profesional, obyektif, tidak memihak dan bebas dari tekanan apa pun,” tambah Soussan.
Jika keamanan memungkinkan, tim dari Organisasi untuk Larangan Senjata Kimia (OPCW) akan disebar secara singkat ke situs lokasi serangan.
“Tim akan bekerja dengan Departemen Keselamatan dan Keamanan PBB memastikan keselamatan tim,” bunyi pernyataan itu.
Pada 2017, tim OPCW sempat mengkonfirmasi adanya penggunaan zat sarin dalam serangan di kota utara Khan Sheikhun.
Suriah sendiri setuju untuk menyerahkan persenjataan senjata kimianya pada tahun 2013 dan menyerahkannya ke inspeksi OPCW. Ini dimaksudkan untuk menghancurkan semua persediaan gas sarafnya.
Dalam kasus klorin, zat itu diizinkan dimiliki untuk digunakan bagi kepentingan sipil, tetapi tidak menggunakannya sebagai senjata.
Baca: Washington: Rezim Suriah Telah Menggunakan Senjata Kimia 50 Kali
OPCW akan menentukan apakah senjata kimia digunakan dalam serangan pada 7 Maret lalu, tetapi tidak akan menyalahkan pihak manapun.
Meskipun ada perjanjian AS-Rusia untuk menghapus sepenuhnya program senjata kimia Suriah setelah ratusan orang terpapar gas sarin di Ghouta pada 21 Agustus 2013, OPCW tidak dapat memverifikasi bahwa semua fasilitas manufaktur, penyimpanan dan penelitian telah dihancurkan.
Di antara situs yang dilaporkan terkena serangan pada Jumat malam adalah Pusat Studi dan Penelitian Ilmiah, fasilitas yang telah memainkan peran kunci dalam program senjata kimia Suriah sejak tahun 1970-an.
Suriah tidak dapat menjelaskan beberapa temuan oleh para penyidik, termasuk lokasi penelitian dan pengembangan yang tidak diumumkan, keberadaan bahan kimia terlarang dan bom yang hilang, sumber mengatakan kepada Reuters.
Akibat penggunaan senjata kimia yang diyakini AS dan sekutunya dilancarkan oleh rezim Suriah, Jumat (13/4/2018) malam, militer AS bersama Inggris dan Perancis meluncurkan lebih dari 100 misil ke tiga fasilitas terkait senjata kimia Suriah. *