Hidayatullah.com–”Kita belum tahu jumlahnya, tetapi diharapkan memang tahun ini bisa diterbitkan. Kita dorong sebagian obligasi menggunakan sistem syariah,” ujar Ketua Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional (DSN) Ma’ruf Amin di Masjid Istiqlal, Jakarta, akhir pekan lalu. Rencana penerbitan obligasi negara syariah itu masih dalam proses pembicaraan dengan pemerintah dan Bank Indonesia. Penerbitan obligasi syariah itu sekaligus untuk menumbuhkan sistem ganda dalam perekonomian Indonesia, yakni syariah dan konvensional. Berdasarkan APBN 2004, pemerintah menargetkan penjualan obligasi negara sebesar Rp32,5 triliun. Ma’ruf mengatakan, obligasi syariah memiliki keunggulan dari segi jangkauan peminat. Dalam hal ini, masyarakat yang berkeyakinan bahwa bunga obligasi adalah riba akan memilih obligasi syariah, sedangkan bagi masyarakat yang tidak memiliki keyakinan tersebut tidak masalah jika memilih obligasi syariah. Cukup tingginya minat masyarakat untuk membeli obligasi syariah, kata Ma’ruf, ditunjukkan pada keberhasilan penjualan obligasi oleh beberapa perusahaan. ”Beberapa waktu yang lalu, Matahari (PT Matahari Putra Prima, Tbk) menerbitkan obligasi syariah, dan itu cepat sekali habisnya. Ini berarti kan minat masyarakat tinggi,” tuturnya. Selain itu, seperti diumumkan PT Bursa Efek Surabaya (BES), mulai hari ini (29/3) obligasi PT Perkebunan Nusantara VII (persero), dengan total nilai Rp300 miliar, dicatatkan di BES. Obligasi PTPN VII yang diterbitkan terdiri atas dua jenis, yaitu obligasi konvensional dengan dua seri A dan B serta obligasi syariah berdasarkan pendapatan bagi hasil (mudharabah). Kepala divisi pencatatan BES Umi Kulsum menjelaskan, nilai obligasi Syariah Mudharabah PTPN VII 2004 senilai Rp75 miliar. ”Untuk obligasi Syariah Mudharabah PTPN 2004 yang berjangka waktu lima tahun, akan dibayarkan dari pendapatan bagi hasil setiap tiga bulan,” ujarnya. Pendapatan bagi hasil yang diberikan ke pemegang obligasi syariah merupakan hasil pendapatan dari penjualan kelapa sawit dan karet, setelah dikurangi biaya tanaman dan biaya pembelian bahan baku komoditas masing-masing. Lebih lanjut Ma’ruf mengatakan, selain PTPN VII, hingga saat ini telah ada delapan perusahaan yang menerbitkan obligasi syariah. Sementara beberapa perusahaan yang tergolong BUMN (Badan Usaha Milik Negara), seperti PT PAL dan PLN juga berencana mengajukan izin penerbitan obligasi syariah. Penyempurnaan Pada kesempatan sebelumnya, Deputi Gubernur BI Aulia Pohan mengatakan BI akan mulai melakukan penyempurnaan ketentuan kelembagaan dan operasional perbankan syariah. Tujuannya, untuk menyesuaikan peraturan dengan perkembangan perbankan syariah yang pesat akhir-akhir ini. ”Mengenai penyempurnaannya seperti apa, kita akan kaji ulang dulu, baik ketentuan lembaganya maupun ketentuan operasionalnya,” ujarnya. Menurut Aulia, meski aturan mengenai perbankan syariah sudah ada, masih banyak bank-bank yang menerapkan sistem syariah yang kurang tepat. Bahkan, sampai saat ini banyak bank perkreditan rakyat (BPR) syariah tetap menggunakan sistem bunga dalam menyalurkan kredit. ”Maka dari itulah, sebelum makin kebablasan kita benahi dari awal.” Aulia mengatakan, pengkajian dilaksanakan dengan mengumpulkan masukan dari berbagai kalangan, mulai dari para ulama hingga akademisi melalui berbagai pertemuan. Pertemuan itu dipusatkan di pesantren-pesantren. Sekaligus, untuk memacu mobilisasi dari kantong-kantong masyarakat Islam Indonesia ke bank-bank syariah. Perkembangan perbankan syariah sejak tiga tahun terakhir sangat pesat, mencapai angka 60% per tahun. Menurut Aulia, meski perkembangan itu di satu sisi sangat menggembirakan, jangan sampai perkembangan itu menyesatkan. “Artinya ada juga bank-bank yang disinyalir mengatasnamakan bank syariah, tetapi melakukan operasional komersial biasa,” ujarnya. (mi)