Hidayatullah.com–Instruksi Presiden itu disampaikan dalam rapat kabinet terbatas di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin. Rapat yang tidak terjadwal dalam daftar acara resmi Presiden Yudhoyono tersebut antara lain dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menko Polhukam Widodo AS, Kapolri Jenderal Da’i Bachtiar, Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto, dan wakil dari Departemen Kesehatan.
Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi menjelaskan hasil rapat kepada pers. Ia mengatakan, Presiden berharap peran tenaga bantuan dalam negeri makin menonjol dibanding negara sahabat mulai 26 Februari 2005.
“Berangsur-angsur bantuan kita ambil perannya dan berharap 26 Februari peran kita makin menonjol dari negara sahabat. Pada 26 Maret, peran dalam negeri makin optimal dibanding bantuan dari negara sahabat.”
Kini para petugas organisasi bantuan harus memiliki izin untuk masuk ke kawasan di luar kedua kota Banda Aceh dan Meulaboh. Demikian Ketua Pelaksana Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Pengungsi, Bakornas PBP , Budi Atmaji
Sejak Aceh dan Sumatra Utara dilanda gempa Tsunami 26 Desember, sedikitnya 44 negara mengirimkan relawan. Saat ini, menurut data dari Mabes TNI, terdapat 2.251 relawan asing di Aceh termasuk 1.632 personel militer dari 15 negara sahabat.
Amerika Serikat (AS), misalnya, telah mengerahkan 245 tentara. Pemerintah Australia mengikuti langkah AS, yang mengirim kapal induk USS Abraham Lincoln, dengan mengirim satu kapal induk HMAS Kanimbla yang berangkat dari Pelabuhan Darwin pada 8 Januari 2005. Saat ini, ratusan personel militer Australia (ADF) berada di Aceh.
Pasukan AS menggelar bahkan peralatan canggih untuk misi kemanusiaan di Meulaboh, Nanggroe Aceh Darussalam. Di antaranya kendaraan amfibi Landing Craft Air Cushion (bawah) dan helikopter marinir CH-46 Sea Knight (atas) yang berbasis di kapal USS Bonhomme Richard.
Koordinator kantor PBB untuk Bantuan Kemanusiaan (OCHA) Kevin Kennedy menilai, sikap militer Indonesia yang mengharuskan pekerja kemanusiaan internasional melapor dan meminta izin khusus untuk memasuki daerah-daerah tertentu di NAD berkaitan dengan bantuan korban bencana tsunami merupakan hal yang wajar.
Keharusan melapor dan meminta izin khusus tersebut, kata Kennedy, tentunya juga untuk kepentingan keselamatan para pekerja kemanusian yang datang dari berbagai negara itu. Sejauh ini keharusan melapor tersebut tidak sampai mengganggu gerakan para pekerja kemanusiaan untuk menolong korban bencana tsunami, katanya.
Para petugas bantuan asing di Aceh kini dibatasi keleluasaannya untuk memberikan pertolongan hanya di 2 kota tertimpa bencana gelombang raksasa tsunami, karena alasan keamanan.
Lembaga bantuan asing harus memperoleh izin untuk bergerak di luar ibukota Banda Aceh dan kota remuk Meulaboh, dengan didampingi prajurit bersenjata TNI. Panglima TNI, Jenderal Endriartono Sutarto, mengakui bahwa pembatasan itu niscaya akan memperlambat penyaluran bantuan.
Sebelumnya, bebera kalangan mengkritik kebijakan pemerintah yang terkesan longgar dalam memberikan izin pihak relawan asing dan pasukan militer negara lain yang datang ke Aceh.
Senin (10/1), kemarin, Ketua Komite Kemanusiaan untuk Aceh (KKIA), Suripto dan beberapa anggota dewan dari Komisi I DPR RI di Jakarta mengusulkan pembatasan relawan asing dan militernya sebatas satu bulan setelah masa evakuasi selesai.
Menurutnya, pembatasan kehadiran militer asing di Aceh perlu dilakukan mengingat banyak contoh di banyak negara seperti Bosnia dan Iraq, di mana militer asing itu kerap membawa agenda terselubung.
“Ada negara-negara yang memiliki hidden agenda dengan dalih membantu pembangunan kembali Aceh dengan desain khusus. Selain itu, mereka ingin menjadikan Aceh sebagai pangkalan di Asia Tenggara. Itu yang kita waspadai,” kata Suripto ketika itu. (ant/mi/hid/cha)