Hidayatullah.com–“Idealnya memang diatur dalam UU tersendiri sehingga perbankan syariah memiliki payung hukum yang lebih kuat,” kata Ketua Asbisindo Wahyu Dwi Agung dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu.
Dalam rapat dengar pendapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi XI DPR Ali Masykur Musa, di antara para anggota masih terdapat perbedaan pendapat mengenai pengaturan perbankan syariah.
Sebagian anggota mengusulkan agar perbankan syariah diatur dalam UU tersendiri sementara lainnya mengusulkan agar pengaturan perbankan syariah dimasukkan saja dalam UU tentang Perbankan (UU Nomor 10 tahun 1998) yang akan segera diamandemen.
Menurut Wahyu, pengaturan perbankan syariah dengan memasukkannya ke dalam UU tentang Perbankan konvensional akan menyulitkan sosialisasi bank syariah yang hingga saat ini belum begitu dikenal masyarakat.
“Sekarang departemen-departemen seperti Departemen Pertanian dan Departemen Kelautan dan Perikanan, tidak tahu apa itu bank syariah. Mereka menanyakan bagaimana kami melakukan intermediasi untuk para petani dan masyarakat miskin di pesisir,” katanya.
Tidak adanya UU Perbankan tersendiri, menurut dia, juga menyulitkan perbankan syariah seperti yang terjadi di Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang berupaya menerbitkan surat utang tetapi dilarang oleh Bank Indonesia (BI) karena tidak ada payung hukumnya.
“Perbankan syariah menginginkan pengaturan yang menyeluruh yang menyangkut berbagai aspek seperti sistem keuangan, sistem perpajakan, dan sebagainya,” katanya.
Mengenai Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI), Wahyu menyebutkan, jumlah dana yang ada di SWBI mencapai Rp2,1 triliun ketika ada fatwa bunga bank haram. Namun setelah itu jumlahnya turun lagi menjadi hanya Rp300 miliar.
“Jadi dana di SWBI sangat minim karena tidak ada bagi hasil. Yang ada hanya bonus dari BI yang besarnya suka-sukanya BI saja,” katanya.
Ia menyebutkan, besarnya bonus SWBI itu lebih rendah jika dibandingkan dengan bunga yang diberikan pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
“Karena itu bank syariah lebih suka mengalokasikan dananya ke sektor pembiayaan riil sehingga financing to deposit ratio (FDR) selalu di atas 100 persen,” jelas Wahyu. (ant)