Hidayatullah.com–Komisi Bahsul Masail Waqi’iiyah (sidang komisi yang membahas masalah-masalah tematik) Muktamar NU ke-32 di Makassar, membahas batasan Masjidil Haram yang disebut memiliki pahala hingga 100.000 kali dibanding di tempat lainnya. Persoalan ini mengemuka setelah banyak jemaah haji yang tinggal jauh dari Masjidil Haram, sehingga tak bisa menunaikan salat lima waktu di sana.
Jemaah haji akhirnya hanya bisa melaksanakan shalat di masjid di sekitar pemondokan mereka. Sementara ada pendapat yang menyatakan bahwa shalat di kota Mekah masih dianggap memiliki pahala 100.000 kali.
Dalam pembahasan komisi ini, mengutip pendapat dari Imam Zarkasyi dalam Hasiyah Aljamal disebutkan bahwa batasan tempat yang memiliki pahala 100.000 kali ini banyak pendapat.
Pendapat pertama adalah batasan haram bagi orang junub memasuki wilayah tersebut, yaitu tempat shalat dan pelatarannya.
Pendapat kedua adalah Mekah secara keseluruhan. Pendapat ketiga adalah tanah haram keseluruhan yang diharamkan dimasuki non-muslim. Pendapat keempat adalah kawasan bangunan kubus Ka’bah. Pendapat kelima adalah Ka’bah dan Hijir Ismail yang memang dianggap bagian dari Ka’bah.
Pendapat keenam menyebut Ka’bah dan wilayah masjid di sekitarnya (Masjidil Haram seperti yang kita kenal) dan pendapat ketujuh adalah seluruh wilayah haram dan Arafah.
Sementara itu, ada pendapat lain yang dikutip Al-Mugnil Muhtaj adalah wilayah Ka’bah dan tempat Tawaf. Putusan yang dibahas menyatakan juga bahwa ada pendapat yang menyebut pahala salat di Masjidil Haram tidak hanya 100.000 kali, tapi 100 juta kali.
Nikah Cyber
Sementara itu, Komisi Bahtsul Masail Diniyyah Waqi’iyyah juga membahas masalah akad nikah melalui alat elektronik yang dinilai hukumnya tidak sah.
“Akad nikah melalui alat elektronik hukumnya tidak sah,” tutur Sekretaris Tim Materi Komisi Cholil Nafis.
Pembahasan sah tidaknya nikah melalui alat elektronik sempat alot. Karena akad nikah dengan fasilitas telepon atau cybernet telah dilakukan di Arab Saudi.
Namun akhirnya diputuskan tidak sah. Karena akad nikah dinilai berbeda dengan akad jual beli. Akad jual beli melalui alat elektronik dapat dikatakan sah, jika barang yang dijual sudah dilihat sebelumnya.
“Jika barang yang dijual belum dilihat dengan jelas, maka hukumnya tidak sah, kecuali apabila barang tersebut dijelaskan sifat dan jenisnya,” kata Cholil.
Saat ini, komisi-komisi masih bersidang. Komisi Bahtsul Masail Diniyyah Waqi’iyyah masih membahas hukum sadap telepon. Sedangkan Komisi Bahtsul Masail Diniyyah Qonuniyyah membahas RUU Perlindungan Kehidupan Beragama dan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. [cha, berbagai sumber/hidayatullah.com]