Hidayatullah.com — Seharusnya pemerintah ikut mendukung pengadaan obat-obat sistentik atau generik yang terjamin kehalalannya. Tapi yang terjadi, pemerintah belum secara maksimal memahami betul bahwa sebenarnya jaminan halal atau adanya pembatasan itu adalah hak orang Islam.
Fenomena ini dinilai Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI), Lukman Hakim, sebagai dampak kuatnya pengaruh persaingan bisnis di dunia farmasi.
“Dari pemerintah kurang dukungan. Kita tahu, dunia farmasi kan bisnis yang tidak ada ruginya. Banyak kepentingan di sana,” kata Lukman, yang ditemui Hidayatullah.com di kantornya, Kota Bogor, Jawa Barat, baru-baru ini.
Padahal, kata dia, sudah seharusnya ada peraturan dari Badan Pengkajian Pangan dan Obat-obatan, dan Kosmetik Republik Indonesia (BPPOM RI) yang mengatur tentang perlindungan kosumen makanan dan minuman dari bahan-bahan yang haram.
Jaminan kehalalan suatu produk obat-obatan, kata Lukman, adalah hak azasi manusia khususnya menjadi hak kaum muslimin. Tapi Amerika sebagai negara yang pertama melakukan penekanan, maka dunia farmasi semakin eksis saja memproduski tanpa mengindahkan unsur haram yang terkandung di dalam produknya.
“Sehingga ini keterlaluan. Saya katakan keterlaluan. Siapa yang peduli dengan obat-obat halal. Obat-obat sintetik ataupun generik sudah ada sejak lama dan kita gunakan, tapi sejauh mana kepeduliaan kita terhadap kehalalan obat,” jelas Lukman.
Yang memprihatinkan, terang Lukman, setiap saat ummat Islam mengkonsumsi obat. Tapi mereka tidak tahu apakah obat yang diproduksi perusahaan farmasi yang digunakan tersebut halal atau haram. Sehingga secara tidak sadar masuklah unsur haram ke dalam tubuh. Lebih parah lagi, lanjut dia, banyak para dokter sendiri yang tidak tahu kandungan obat yang diresepkan kepada pasien.
“Padahal teori penghancuran kader Islam adalah dengan menyumpalkan makanan haram di dalam tubuhnya,” tukasnya. [ain/hidayatullah.com]