Hidayatullah.com–Muhammadiyah selayaknya patut bersyukur. Pasalnya, persyarikatan yang didirikan KH. Ahmad Dahlan ini telah berusia seabad dan berarti telah melintasi satu abad.
Kini, Muhammadiyah menghadapi abad kedua. Berkaitan dengan itu, Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir, dalam paparan pernyataan dan program Muhammadiyah 2010-2015 dalam sidang pleno V di Sportorium UMY (5/7) tadi malam mengatakan, prestasi itu karena Muhammadiyah telah bersungguh-sungguh (bazdlul juhdi) dalam berkiprah.
Kini, di abad ke-2, Muhammadiyah sepatutnya melakukan refleksi diri dengan melakukan introspeksi ke depan. Sejak berdirinya Muhammadiyah pada tahun 1912, organisasi ini telah sukses melakukan tadjid, baik dalam bentuk pemurnian maupun pembaharuan.
Dalam bidang pendidikan misalnya, Muhammadiyah telah melakukan pembaharuan paham keagamaan dengan mereformulasikan sistem pendidikan modern. Sedangkan, dalam bidang perempuan Muhammadiyah dinilai sukses memperankan perempuan ke ranah publik melalui organisasi Aisyiah.
Dikatakan juga, dalam ranah kebangsaan, posisi Muhammadiyah sebagai persyarikatan akan menjadikan Indonesia yang Islam dengan pengintegrasian Islam ke-Indonesiaan. Selain itu, disebutkan pula, bahwa Muhammadiyah mengakui demokrasi dan mengantarkan Indonesia sebagai negara demokratis setelah AS. Meski menurutnya, dalam konteks demokrasi adalah masalah yang perlu diurai lebih luas lagi. Begitu juga dengan hal ekonomi, budaya dan kebangsaan.
Sementara, dalam tataran ke-Islaman, Muhammadiyah memandang Islam bukan saja agama dalam bentuk perintah dan larangan saja, tapi juga Islam sebagai jalan hidup (way of life) dalam kehidupan nyata. Dalam arti luas, Muhammadiyah menyatakan pandangan tentang Islam yang berpandangan kemajuan dan berarti Islam sebagai agama peradaban.
Bagi Muhammadiyah, nasionalisme adalah satu keharusan. Nasionalisme bukan saja doktrin pasif atau dogmatis, tapi sebuah bentuk paham yang diwujudkan dalam kemajuan, adil, makmur dan bermartabat.
Tidak hanya itu, Muhammadiyah juga berusaha menghadirkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin dan menolak tesis benturan peradaban dengan melakukan dialog aliansi antarperadaban. Hal itu dilakukan untuk menjembatani antara Islam dan Barat.
Dalam pernyataan akhirnya Haedar mengatakan, Muhammadiyah akan fokus pada gerakan pencerahan. Seperti dikatakan Din Syamsuddin dalam kesempatan yang sama, adanya istilah “Tanwir” di Muhammadiyah tidak lain sebagai bukti bahwa Muhammadiyah hadir untuk mencerahkan.
Lebih jauh Haedar katakan, praksis Islam tidak saja membebaskan dari segala penderitaan, tapi juga memberdayakan. Hal itu sesuai dengan konsep al-Maaun. [ans/hidayatullah.com]