Hidayatullah.com–Impor makanan dan minuman olahan, termasuk kosmetik dan obat-obatan, melonjak rata-rata hingga 70 persen selama semester I 2010.
Bahkan, dari produk-produk impor yang ditemukan di pasaran tersebut, termasuk juga produk ilegal, karena tidak memenuhi peraturan perdagangan dan ketentuan standardisasi yang ditetapkan pemerintah.
Sebut saja produk makanan dan minuman serta obat dan kosmetik impor yang tidak menggunakan label bahasa dan mencantumkan komposisi bahan baku. Belum lagi masalah pemenuhan standar mutu dan kualitas yang juga tidak jelas ukurannya, karena juga tidak terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, lonjakan impor terbanyak terjadi untuk produk biskuit yang mencapai hingga 1.100 persen, terutama dari China, Malaysia, Korea Selatan, Thailand, dan bahkan Rusia.
“Makanan dan minuman impor naik 70 persen selama 6 bulan pertama,” katanya di Jakarta, Senin (23/8).
Menurut dia, kenaikan impor makanan dan minuman serta produk konsumsi lainnya didorong oleh pelaksanaan perdagangan bebas dengan berbagai negara, termasuk dengan China (CAFTA). Selain itu, kenaikan impor pun terjadi terhadap produk jamu impor hingga 200 persen, produk sampo 25 persen, dan produk-produk konsumsi lainnya.
“Kenaikan impor ini hanya mencakup produk legal. Jadi belum dihitung dari impor ilegal yang diperkirakan lebih besar. Penetapan 5 pelabuhan, ternyata hanya hangat-hangat tahi ayam. Semuanya masuk,” ujar Sofjan.
Sofjan menuturkan, lonjakan produk makanan-minuman impor bukan hanya merugikan industri dalam negeri. Namun selain itu membahayakan masyarakat karena tidak jarang produk-produk tersebut belum berbahasa Indonesia.
“Kalau industri makanan minuman saja tak terselamatkan, saya percaya nasib industri lain juga tidak terselamatkan,” katanya.
Untuk itu, dia berharap pemerintah segera bertindak cepat, terutama dalam mengatasi masalah ini. Wajib label berbahasa Indonesia bagi produk makanan minuman menjadi hal yang penting.
Bahkan dengan tegas Sofjan menyentil perilaku BPOM, yang menurutnya, masih melakukan pengumuman saat akan melakukan inspeksi mendadak (sidak) ataupun operasi semacamnya.
“BPOM kalau operasi satu minggu sebelumnya dikasih tahu dulu, mau menangkap maling kok dikasih tahu,” ucapnya.
BPOM, menurut dia, seharusnya merahasiakan rencana setiap operasinya agar tidak bocor ke publik. Sebab, masalah wajib label berbahasa Indonesia bagi produk pangan dan pengawasan ketat, sebenarnya sudah disampaikan ke level menteri melalui pendekatan personal, termasuk dengan Menteri Perdagangan, namun masalah koordinasi menjadi kendala. Karena itu, dia mengingatkan agar koordinasi instansi terkait dapat mengatasi kendala yang selama ini menjadi keluhan para pelaku usaha di dalam negeri.
“Ini sesuai dengan keinginan bersama yang menginginkan dunia usaha bisa menjadi raja di negeri sendiri, di samping adanya perlindungan bagi konsumen yang lebih besar lagi. Jadi, bagaimana konsumen bisa mendapatkan manfaat dari berbagai produk impor yang beredar di pasar dalam negeri jika tidak memahami produk yang dibutuhkannya karena produk impor tidak memberikan informasi yang cukup,” ucapnya.
Sementara itu, Franky Sibarani, perwakilan Apindo lainnya, mengatakan, temuan melonjaknya produk impor dan tidak berbahasa Indonesia merupakan temuan pengembangan dari lima kota sebelumnya. Beberapa kota lainnya yang juga ditemukan lonjakan produk impor antara lain Yogyakarta, Semarang, Pontianak, Balikpapan, Malang, dan Banten. “Pelanggaran-pelanggaran sebenarnya jauh lebih besar dari temuan kita,” tutur dia.
Tren membajirnya produk impor juga dikeluhkan pengusaha dalam negeri lainnya. Misalnya, produk impor kosmetik dan jamu yang mudah masuk ke pasar dalam negeri, sehingga makin mengkhawatirkan. Sementara produk ekspor kosmetik dan jamu Indonesia ke negara-negara lain justru mengalami perlakuan yang ketat, termasuk dihadang dengan nontarif barrier.
Menurut Ketua Bidang Industri Perdagangan GP Jamu dan Ketua Perkosmi Putri K Wardani, tren semacam ini setidaknya terjadi semenjak adanya perdagangan bebas China-ASEAN (CAFTA), khususnya ketika produk jamu dan kosmetik sudah mengalami penghapusan tarif 0 persen. Berbeda dengan sebelum dimulai kesepakatan CAFTA, masing-masing negara tujuan ekspor justru mengetatkan diri. Antara lain, pendaftaran di negara tujuan ekspor lebih lama, dengan sendirinya ini sebagai nontarif barrier.
Namun kondisi yang berlawanan terjadi di Tanah Air. Pemerintah Indonesia justru sangat terbuka terhadap barang-barang impor seperti jamu maupun kosmetik. Dia mencontohkan, masih banyaknya jamu dan kosmetik impor tanpa label bahasa Indonesia akan menjadi ancaman bagi konsumen karena konsumen tidak tahu isi produk yang mereka pakai. Misalnya label, bahasa asing akan menyulitkan konsumen untuk mengetahui produk kosmetik pemutih yang mengandung zat berbahaya. “Di lapangan banyak produk jamu dan kosmetik impor yang deras masuk tak berlabel bahasa Indonesia,” katanya.
Hal ini tentunya berimbas terhadap nasib industri jamu dan kosmetik lokal. Ia mencatat pada triwulan I-2010 industri jamu turun 20 persen dan kosmetik stagnan. Sementara hingga semester I-2010, tercatat kenaikan produk impor jamu sampai 200 persen.
Putri menambahkan, pasar kosmetik dalam negeri per tahunnya mencapai Rp 35 triliun, yakni 20 persen diisi oleh produk impor, sedangkan sisanya produk lokal. “Tapi yang 20 persen itu legal, belum yang ilegalnya,” tutur Putri. [suk/hidayatullah.com]