Hidayatullah.com–Partai Bulan Bintang (PBB) mengatakan tak perlu alergi dengan Piagam Jakarta. Alasannya, naskah adalah produk para pejuang kemerdekaan dan tidak pernah dinyatakan terlarang hingga saat ini.
Pernyataan ini disampaikan Sekjen DPP Partai Bulan Bintang (PBB) BM Wibowo dalam rilis pers yang dikirim ke hidayatullah.com, Jumat (29/10). Pernyataan ini disampaikan PBB untuk menanggapi hasil eksaminasi publik oleh Komunitas Salihara yang menganggap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak pencabutan UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sebagai suatu yang janggal.
Sebelum ini, Komunitas Salihara, yang banyak didominasi kalangan liberal, menganggap MK mendapat tekanan dan kepentingan politik mayoritas kaum (Muslim).
“Menurut saya, sebaiknya kita tidak merisikokan publik. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah final dan mengikat, bila menjadi kebiasaan putusannya dieksaminasi lagi, maka akan mengarahkan kepada (persepsi) ketidakpastian hukum yang menambah kerumitan,” ujar Wibowo.
Wibowo bahkan membalik tuduhan Salihara yang menganggap MK mendapatkan tekanan politik mayoritas.
“Bukankah bila mengabulkan, MK juga akan dianggap mendapatkan tekanan dari kelompok minoritas? Dan ini justru lebih berbahaya,” tulisnya.
“Bagaimanapun menjaga kemaslahatan bersama adalah sangat penting,” tambah Wibowo.
Partai Bulan Bintang (PBB) pernah mengusulkan agar naskah asli Piagam Jakarta diberlakukan kembali, sehingga Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 berbunyi, “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Namun usulan ini kandas pada Sidang MPR RI 10 Agustus 2002.
PBB juga mengingatkan Komunitas Salihara untu mendukung penuh putusan MK dan tak perlu mengkait-kaitkan dengan Piagam Jakarta.
Menurutnya, putusan MK itu dinilai sudah mendatangkan kelegaan bagi banyak kalangan, setelah sidang-sidangnya sempat menimbulkan kekhawatiran baik di ruangan sidang, di luar, maupun di masyarakat.
“Bila kini dipersoalkan lagi, maka dapat memicu ketegangan baru,”tambahnya.
Komunitas Salihara lahir dari Komunitas Utan Kayu (KUK), komunitas yang dibentuk oleh sebagian pengasuh majalah Tempo. Di tempat ini pula ada Jaringan Islam Liberal (JIL). Di tempat ini, biasanya para intelektual muda mendiskusikan paham liberal di Indonesia.
Komunitas Salihara berdiri di atas sebidang tanah seluas sekitar 3.060 m2 di Jalan Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Terdiri atas tiga unit bangunan utama berisi Teater Salihara, Galeri Salihara, serta ruang perkantoran dan wisma. Teater Salihara sendiri bisa menampung hingga 252 penonton. Sebuah gedung teater model black box pertama di Indonesia. [cha, berbagai sumber/hidayatullah.com]
Foto: situs salihara