Hidayatullah.com — Indonesia bisa jadi adalah pasar gemuk potensial untuk industri esek esek. Meski kerap menuai kecaman dari banyak kalangan, film berkonten porno tetap saja nekad diproduksi. Kecaman ulama dan umat pun sering diabaikan.
Kabar terbaru, satu lagi film Indonesia yang dibintangi bintang porno Jepang Maria Ozawa alias Miyabi (24) siap tayang. Film horor berjudul “Hantu Tanah Kusir” yang dijadwalkan bakal tayang di bioskop mulai Kamis (25/11) besok.
Dalam film baru produksi Maxima Pictures itu, akting Miyabi dikabarkan lebih berani dibanding filmnya terdahulu “Menculik Miyabi” yang diprotes masyarakat.
Anehnya, anggota tim sensor Lembaga Sensor Film (LSF) Firman Bintang menyatakan, film “Hantu Tanah Kusir” dinilainya masih dalam batas yang wajar sebagai film berkategori dewasa. Ia juga mengungkapkan bahwa dalam film Indonesia sudah biasa ada hal-hal yang dibuat menjadi sensasional, baik pemain film maupun adegannya.
“Selama film itu masih wajar, ya lolos sensor. Tapi kalau soal apa yang dipotong atau bagaimana proses lainnya, itu tidak mungkin diungkapkan kepada publik. Karena itu menjadi bagian dari rahasia di ruang proses sensor film,” ujar Firman di sebuah media ibu kota, Selasa (23/1 1 ).
LSF Dipertanyakan
Sementara itu, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto, menyatakan ada masalah besar di Lembaga Sensor Film Indonesia (LSF) yang kerap meloloskan film berbau porno yang dibintangi artis porno internasional.
“Ada masalah besar di tubuh LSF. Saya kira sedang berlangsung proses kapitalisasi di sini,” kata Ismail Yusanto kepada hidayatullah.com.
Menurut Ismail, selama ini memang proses sensor yang dilakukan LSF dengan metode paket bukan sistem panel, atau menyerahkan proses sensor kepada hanya satu atau beberapa orang tanpa melibatkan semua unsur yang ada di LSF.
Jika kebetulan yang menyeleksinya adalah orang yang pro kebebasan seni, kata Ismail, jelas akan memungkinkan film yang bermuatan porno akan bisa lolos.
Kiprah LSF selama ini dinilai Ismail tidak signifikan dalam melakukan sensor. Terbukti dari sekian banyak film yang sudah diadukan oelh masyarakat, tapi tetap saja bisa lolos.
“LSF tidak pernah menjelaskan apa sebetulnya kerangka budaya yang ingin dibangun, tidak punya politik budaya yang jelas. Ini bukti LSF tidak pernah beres,” tegasnya.
Lebih jauh dia mengungkapkan, lolosnya film bermuatan adegan seks dan porno pada dasarnya ada proses kapitalisasi di dalamnya.
“Semua lini kehidupan di Indonesia sudah dikungkungi dominasi materialisme, termasuk masalah sensor,” demikian Ismail. [ain/hidayatullah.com]