Hidayatullah.com–Dalam persidangan lanjutan kasus Ciketing yang berlangsung Senin (3/1) pagi di Pengadilan Negeri (PN) Bekasi terungkap fakta baru yang tidak diketahui masyarakat. Menurut keterangan seorang saksi, Edi Suryo Purnomo, terungkap bahwa bentrokan Ciketing yang terjadi pada Ahad, 12 September 2010 berawal dari pengeroyokan seseorang yang mengaku wartawan oleh massa Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
”Bentrokan berawal dari pengeroyokan seorang wartawan yang sedang melintas oleh massa HKBP,” kata Edy dalam persidangan.
Edi adalah warga Ciketing yang menyaksikan langsung kejadian bentrokan. Saat itu, ia mengaku sedang berada di dalam rumah. Rumah Edi hanya berjarak 20-30 meter dari TKP. Di dalam rumah ia mendengar keributan dan teriakan maling dari luar rumah. Ia lalu bergegas keluar rumah mencari sumber keributan.
Di luar rumah ia melihat seseorang yang berkendara sepeda motor dihadang dan diteriaki maling oleh massa HKBP. Tak lama berselang pengendara motor tersebut ditendang hingga terjerambab dari sepeda motornya. Bogem mentah pun bertubi-tubi dilayangkan massa HKBP kepada orang tersebut.
Edi yang ketika itu diamanahkan oleh ketua RT setempat untuk menjaga keamanan selama liburan Idul Fitri 1431 Hijriah merasa perlu merelai pengeroyokan tersebut. Ia pun berhasil memiting leher orang yang jadi sasaran massa HKBP itu.
“Saat saya berusaha amankan, orang tersebut mengaku sebagai wartawan dengan melihatkan kartu pers dan kamera digital miliknya,” papar Edi yang sudah bermukim di Ciketing selama 8 tahun.
Belum juga ia melihat secara jelas identitas wartawan tersebut, massa HKBP kembali merebut dari tangan Edi. Massa HKBP, kata Edi, lalu menggiring sang wartawan ke lahan kosong. Kembali wartawan itu dikeroyok.
Menurut pengakuan Edi saat itu memang ada juga sekelompok massa berkopiah putih dan berkemeja koko. Jumlahnya sekitar 20 orang. Namun, kata Edi, kelompok massa ini tidak berkonsentrasi dalam satu titik.
Saat itu kelompok berkopiah ini juga menyaksikan aksi pengeroyokan wartawan tersebut. Lalu, jelas Edi, terjadilah adu mulut antara massa HKBP dengan tiga orang dari kelompok berkopiah putih. Ketiga orang ini mempermasalahkan kenapa orang yang naik sepeda motor ditendang. Dari situ kemudian berkembang menjadi adu jotos.
Karena tak berimbang ketiga orang berkopiah putih ini lari menghindar kejaran massa HKBP yang menurut Edi berjumlah sekitar 30 orang. Dalam waktu yang berdekatan, Edi kembali melihat pemukulan terhadap seorang perempuan, yang kemudian diketahui bernama Luspida Simanjuntak, seorang pendeta HKBP.
Luspida diboncengi sepeda motor oleh Galih Setiawan, anggota Polri. Saat itu Luspida dan Galih mengantar Asia Lombantoruan, korban penusukan ke RS terdekat. Jadi mereka, jelas Edi, berboncengan motor tiga orang dengan posisi Galih di depan, Asia di tengah, dan Luspida di belakang.
”Orang itu dipukul dengan bambu yang ada benderanya dalam posisi digulung dari arah belakang bagian kanan, tapi yang terluka pelipis kirinya (Lupida-red). Hal ini juga sempat dipertanyakan oleh Polres. Dipukul bagian belakang sebelah kanan, tapi yang luka pelipis sebelah kiri. Saya melihat kejadian itu kurang dari 5 meter. Dalam keadaan dipukul, motor yang ditumpangi tersebut tetap jalan,” papar Edi.
Bukan Penghadangan Peribadatan
Edi juga memberi kesaksian bahwa bambu yang dijadikan barang bukti dan diserahkan oleh tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada hakim juga tidak sesuai dengan apa yang ia lihat di TKP. Edi mengatakan bambu yang ia lihat untuk memukul Luspida lebih panjang dari bambu yang dibawa oleh JPU sebagai barang bukti.
Saat kuasa hukum terdakwa Murhali, Munarman, SH menanyakan apakah bentrokan tersebut terjadi saat massa HKBP tengah beribadat, Edi menjelaskan massa HKBP saat itu bukan sedang dalam beribadat.
“Bentrokan itu terjadi saat HKBP sedang berada di tengah perjalanan menuju kebun kosong yang dijadikan tempat kebaktian,” jelas Edi.
Mendengar jawaban ini Munarman kembali menegaskan kepada saksi bahwa bentrokan ini terjadi saat massa HKBP sedang menuju lokasi kebaktian yang berjarak 2 KM dari rumah yang sebelumnya digunakan sebagai gereja di Jalan Puyuh Raya Perumahan Pondok Timur Indah (PTI) Kota Bekasi. Penegasan ini diiyakan oleh Edi.
Selain saksi Edi, pada persidangan kemarin dihadirkan pula dua saksi lainnya, yakni Ruli Rukmana (warga Ciketing) dan Galih Setiawan (anggota Polri).
Mendengar keterangan saksi-saksi, khususnya saksi Edi, tim kuasa hukum Murhali dan 12 terdakwa lainnya optimis akan memenangkan perkara ini.
“Dari keterangan saksi untuk sementara kami optimis memenangkan perkara ini. Tapi jangan lupa masih banyak saksi yang akan dihadirkan,” kata Shalih Manggara Sitompul, salah seorang kuasa hukum terdakwa kepada hidayatullah.com, Selasa (4/1) pagi.
Tim kuasa hukum yang diwakili Munarman juga meminta agar kasus pengeroyokan wartawan oleh massa HKBP ini diusut oleh pihak kepolisian.
”Kejadian itu bermula dari pengeroyokan terhadap wartawan oleh jemaat HKBP. Ini bukan delik aduan. Tapi polisi bisa saja melakukan pelaporan atas pengeroyokan itu. Atau bisa saja teman-teman wartawan melaporkan insiden pengeroyokan itu. Jika ada pengaduan yang mengeroyok wartawan itu bisa saja diusut. Dalam kesaksian juga disebutkan, terjadi pengejaran terhadap 3 orang pemuda. Jadi jelas, tidak ada yang menyerbu dari kalangan umat Islam,” kata Munarman usai persidangan.
Pernyataan Munarman ditimpali pula oleh Shalih kepada para wartawan. “Mana nih solidaritas wartawan?! Ayo dong laporkan kasus pengeroyokan ini ke sebelah,” kata Shalih seraya menunjukan kantor Polres Bekasi yang persis berada di sebelah PN Bekasi. [syaf/hidayatullah.com]