Hidayatullah.com–Pengamat politik internasional dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya A Safril Mubah SIP menilai, demokrasi tidak cocok untuk negara-negara Arab, seperti Mesir, Tunisia, Libya, dan lainnya.
“Demokrasi yang khas Barat itu tidak klop dengan budaya Arab yang terdiri dari kafilah (kesukuan), sehingga kalau ada pemilihan umum (pemilu) di Arab itu hanya semu dan pemenangnya adalah boneka,” katanya dalam sebuah halaqah/seminar di Surabaya, Ahad (6/3).
Ia mengemukakan hal itu dalam halaqah ke-15 yang digelar rutin (bulanan) oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jatim dengan pembicara lain, M Sya’roni (Unisma), Ustaz Muhammad Wahiduddin (pengamat Timur Tengah yang alumnus Mesir), dan Ustaz Muh Taufiq NIQ (DPD I HTI Jatim).
Menurut dia, negara-negara di Timur Tengah menganut monarki absolut yang berbeda dengan sistem monarki di Inggris, Jepang, dan Thailand. Raja bukan hanya simbol, melainkan juga pemerintahan dengan kekuasaan absolut.
“Bahkan, Mesir yang merupakan republik pun mirip monarki absolut, sehingga sistem absolut membuat rakyat jenuh dan akhirnya melahirkan revolusi,” katanya.
Tentang merebaknya revolusi di Mesir, Tunisia, Libia, dan negara-negara Arab lainnya secara serentak, ia menyatakan hal itu terjadi akibat faktor globalisasi, seperti facebook, twitter, dan sejenisnya.
“Masalahnya, revolusi itu akan menjadi benturan kepentingan antara kepentingan Barat melalui demokrasi dan budaya negara Arab sendiri yang tidak familier dengan demokrasi,” katanya.*