Hidayatullah.com–Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melayangkan kritikan terhadap rancangan atau draft Undang-Undang Intelijen yang dinilai hanya representasi dari rezim otoriter. RUU tersebut dinilai belum mengakomodasi prinsip-prinsip kinerja intelijen yang profesional tanpa mengabaikan hak-hak prinsip kemanusiaan.
Selain itu, kata juru bicara HTI Ismail Yusanto, draft rancangan UU itu tidak steril dari kepentingan politik, tidak bisa mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan ekonomi penguasa, serta melanggar hak-hak privasi warga negara.
“Bahkan dikhawatirkan bisa melahirkan kembali rezim represif seperti atau bahkan lebih dari rezim Orde Baru,” terang Ismail dalam konferensi pers di markas HTI Gedung Crown Palace, Tebet, Jakarta, Kamis (7/4).
Dari kajian yang dilakukan terhadap draft RUU Intelijen yang terdiri dari 46 pasal terbagi dalam sepuluh bab, Naskah Akademik (NA) yang disiapkan DPR (2010), ditambah DIM (Daftar Inventaris Masalah) yang diajukan Pemerintah atas RUU Intelijen Negara tersebut, pihaknya memberikan sejumlah catatan kritis penting yang perlu menjadi perhatian semua elemen masyarakat.
Di antaranya, jelas Ismail, ada kalimat-kalimat dan frase yang tidak didefinisikan dengan jelas, pengertiannya kabur, dan multitafisr, sehingga nantinya berpeluang menjadi pasal karet.
Misalnya ada frase “ancaman nasional” dan “keamanan nasional”. Hal itu, imbuh Ismail, memiliki definisi yang tidak jelas, pengertiannya kabur dan multitafsir.
“Begitu juga kata “musuh dalam negeri”, siapa dan kriterianya apa, tidak jelas. Ini sangat mungkin disalahgunakan,” paparnya.
Dalam RUU Intelijen tersebut, pada Pasal 1 dikatakan, Intelijen Negara merupakan lembaga pemerintah, tidak dikatakan lembaga negara. Dengan definisi itu, Ismail menengarai intelijen berpeluang dijadikan alat penguasa untuk memata-matai rakyat dan musuh politiknya.
RUU Undang-Undang ini juga dinilai tidak mengatur dengan jelas mekanisme kontrol dan pengawasan yang tegas, kuat dan permanen terhadap semua aspek dalam ruang lingkup fungsi dan kerja intelijen, termasuk penggunaan anggaran. Akibatnya, kata Ismail, intelijen akan menjadi super body yang tidak bisa dikontrol dan bisa dijadikan alat kepentingan politik status quo.
“Dengan beberapa catatan kritis itu, maka RUU Intelijen akan melahirkan kembali rezim represif. Dan itu merupakan kemunduran bagi kehidupan umat di negeri ini,” tukas dia.
Sebagaimana diketahui, saat ini RUU Intelijen sedang dalam pembahasan di DPR bersama pemerintah. Bulan Desember 2010 lalu DPR telah mengajukan RUU ini sebagai salah satu RUU inisiatif DPR.*