Hidayatullah.com–“Pergi, jangan menginap di sini!” hardik pengurus mushalla kepada dua anak muda yang baru saja merebahkan badannya karena letih. “Ke Pasar Pagi saja, cari tempat istirahat di sana,” ujarnyanya lagi.
Pemuda yang dihardik itu tak lain Hasan Suraji dan Suwardhany Soekarno. Mereka adalah anak-anak muda utusan Hidayatullah Balikpapan yang ditugaskan berdakwah di kawasan pedalaman Kalimantan. Seperti biasa, setiap kali memasuki tempat tugas baru dan di sana belum memiliki kenalan, maka masjid atau mushalla merupakan alamat andalan mereka.
Padahal, sore itu, setelah menempuh jalan sejauh 100 kilometer dengan angkutan umum dan perahu ketinting menyeberangi sungai Mahakam, perjalanan akan dilanjutkan lagi sejauh 6 kali lipatnya. Maka, mereka memutuskan istirahat barang sejenak di emperan mushalla di bilangan Jalan Panglima Butur, Samarinda. Untung tak dapat diraih, keduanya diusir dan disuruh tidur di tempat lain.
Seusai shalat Subuh, mereka berangkat ke kota Tenggarong sebagai pintu gerbang sebelum masuk ke kawasan pedalaman. Lalu, dengan bekal percaya diri yang tinggi mereka melapor kepada Bupati Kutai yang saat itu dipimpin oleh Drs Ahmad Dahlan. Di luar dugaan, setelah bupati mendengar mereka utusan dari Hidayatullah yang akan membina masyarakat pedalaman, mereka disambut dengan sangat antusias. Keduanya, lalu diberi uang saku sebesar Rp 20 ribu. “Alhamdulillah, karena kami memang sudah kehabisan ongkos,” kata Hasan.
Melelahkan
Kedua anak muda itu tidak sempat bertanya kepada almarhum Ustadz Abdulllah Said (pendiri Hidayatullah) mengapa harus mereka yang ditugaskan berdakwah di pedalaman. Hasan waktu itu masih berstatus pengantin baru dan harus meninggalkan istri selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Tapi bagi kader dakwah seperti mereka tidak ada alasan untuk bersilat lidah, apalagi membantah. “Kami sami’na wa atha’na, ini adalah tugas mulia melandingkan Islam di pedalaman,” kata pria yang selalu riang ini.
Dari Tenggarong, mereka bersiap-siap melakukan perjalanan panjang ke belantara Kalimantan. Dengan menggunakan kapal berukuran kecil pengangkut barang-barang dagangan, mereka menelusuri Mahakam melalui kota kecamatan kecil seperti Kotabangun, Muara Pahu, Melak dan Long Iram.
Saat di Long Iram, Suwardhany Soekarno terserang penyakit malaria yang cukup parah. Ia pun dibawa ke Puskesmas. Dari pembaringan, Suwardhany mengirim surat kepada Ustadz Abdullah Said yang isinya, ”Tolong kami didoakan karena siapa tahu tinggal nama yang kembali, medannya cukup berbahaya. Tempat kami mengirim surat ini adalah kantor pos yang terakhir dan kami masih akan meneruskan perjalanan ke hulu yang medannya lebih rawan daripada yang telah dilewati.”
Pada saat membina masyarakat Muslim di Long Pahangai, mereka juga sempat terseret oleh arus arung jeram yang kencang. Untung perahu yang mereka tumpangi tersangkut di WC milik penduduk setempat yang banyak terdapat di bibir sungai.
”Alhamdulillah, kalau tidak nyangkut WC boleh jadi kami benar-benar pulang hanya tinggal nama saja,” kenang Hasan, ayah 9 anak ini.
Pendekatan dengan Berburu
Setelah tiba di tempat berdakwah, Hasan tidak langsung berceramah. Saat itu, ia kumpulkan warga, tetapi bukan untuk mendengarkan pengajian. Namun, hari pertamanya itu ia lalui dengan berburu bersama warga.
Bersama puluhan warga setempat yang membawa mandau, tombak, sumpit, dan golok, Hasan mengendap-endap mengintai rusa hutan di malam buta. Malam itu benar-benar malam yang melengkapi keletihan fisik Hasan, setelah menempuh perjalanan panjang.
Tetapi keletihan itu segera sirna begitu Hasan menyadari bahwa ia berada di tengah-tengah orang yang kuat dalam mempertahankan akidah. Kendati sudah bertahun-tahun hidup @ýð<pembinaan, mereka masih bertahan dalam iman Islam. Padahal, para zending terus menggoda mereka agar murtad dari Islam.
Bahkan, kata Hasan, mereka memiliki kelebihan dibandingkan dengan penduduk non-Muslim.
“Mereka sudah tidak makan babi, tidak makan binatang melata dan anjingnya hanya ditempatkan di ladang,” terang suami dari Asma ini.
Setelah tiga bulan Hasan melakukan pembinaan (Oktober-Desember 1975) di Long Krohong, ia kemudian ditarik kembali ke Balikpapan.
Dai Perintis
Tugas pertama di pedalaman Kalimantan itu ternyata bukan yang terakhir. Oleh Ustadz Abdullah Said, ia kembali diberi amanah yang lebih menantang. Berturut-turut Hasan pun ditugaskan ke Toli-toli (1984), Tanah Grogot (1986), serta Tarakan (1989).
Tahun 1998, Hasan mendapat tugas untuk menaklukkan bumi Cenderawasih, Papua.
“Semua tempat menantang, tapi inilah medan dakwah yang paling berat,” ujar santri awal Hidayatulah ini.
Apa pasal? Saat itu sarana transportasi ke Papua sangat sulit. Ada kapal Pelni, tetapi sangat jarang. Dan yang pasti, ada penyakit ‘wajib’ yang harus diterima orang yang tinggal di sana, yakni malaria. Benar saja, baru sebulan di sana, Hasan dan kelima anaknya yang masih kecil-kecil harus menjadi pelanggan dokter.
Waktu terus berputar. Setelah bertugas selama tujuh tahun, Hasan merasakan suka dukanya berdakwah di Papua. Bersama puluhan dai yang diamanahkan untuk ‘menaklukkan’ Papua, Hasan kemudian diamanahi menjadi Koordinator Wilayah (Korwil) Irian Jaya dan Irian Jaya Barat yang wilayahnya meliputi: Sorong, Wamena, Serui, Nabire, Fak-Fak, Jayapura, Manokwari, dan Biak. Di situlah cabang-cabang Hidayatullah telah didirikan.
Amanah sebagai Korwil mengharuskannya keliling ke daerah-daerah tersebut. Oleh karena itu, setelah berbulan-bulan bertugas Hasan baru bisa kembali ke rumah. Sebab, selain sarana transportasi yang sulit, juga masalah dana. Bila dana cukup, maka dengan pesawat terbang manjadi pilihan. Akan tetapi, jika dana terbatas, maka kapal Pelni atau kapal perintis menjadi alternatifnya.
Apa yang membuat Hasan selalu semangat dalam menjalani tugas-tugas dakwah, apalagi kerap barus berpindah-pindah dan menghadapi permasalahan, baik keluarga maupun masyarakat? “Spirit nubuwwah itulah kuncinya,” jelas lelaki kelahiran Balikpapan 57 tahun lalu. Adapun yang dimaksud Hasan dengan semangat nubuwwah adalah berpegang kepada nilai-nilai kebenaran yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) sebagai bekal hidup dan perjuangan.
Hasan, sangat beruntung memiliki seorang istri yang setia mendukung dan selalu memberinya semangat dakwah. Sang istri tahu tugas dan kewajiban sebagai seorang mujahidah, ia siap mengikuti kemana pun ditugaskan.
“Kalau Ustadz pergi, pesan utamanya agar saya menjaga anak-anak, mengingatkan waktu shalatnya, menjaga komunikasi di antara anggota keluarga, serta menghadapi masalah dengan kepala dingin dan santai,” ujar Asma, sang istri.
Hasan Suraji lahir di Balikpapan, 8 Oktober 1952. Menempuh pendidikan SD, SMP dan STM di Balikpapan. Di tengah masa studinya itulah, ia banyak berinteraksi dengan Ustadz Abdullah Said muda, pendiri PP Hidayatullah.
Hasan turut menjadi saksi dan pelaku sejarah berdirinya Pesantren Hidayatullah, mulai dari perintisan di Gunung Sari, kemudian pindah ke Karang Rejo, Karang Bugis —semua tempat tersebut ada di kota Balikpapan– dan akhirnya mendapatkan tanah hibah dari seorang hamba Allah bernama Dermawan di wilayah Teritip, yang kini menjadi kampus pusat Hidayatullah.
Inna Lillahi wa inna ilaihi raajii’un. Allah telah memanggil Hasan Suraji malam Jum’at di bulan Ramadhan, (20/08/2011) sekira pukul 21.30 WITA di RSUD Berau.
Dai tangguh itu telah berpulang. Doa kami selalu menyertai,
“ALLAAHUMMAGHFIRLAHUU WARHAMHUU…” *