Hidayatullah.com — Di era teknologi informasi dewasa ini, kita harus dapat memetakan mana informasi yang benar-benar sehat dan mampu memilah mana informasi yang hanya “sampah” yang tak perlu dikonsumsi. Itulah sebabnya tantangan terbesar di abad informasi saat ini adalah kemampuan setiap person untuk menyaring informasi.
Demikian dikatakan Direktur Institute for Islamic Civilization Studies and Development (INISIASI) Achmad Suharsono, dalam acara Coffe Morning Civilization (CMC) di Masjid Jami’ Ummul Qura, Kota Depok, Jawa Barat, Sabtu (26/05/2012). Diskusi pekanan ini dihadiri puluhan peserta dari kalangan mahasiswa, orangtua, dan remaja.
Suharsono mengimbuhkan, putaran informasi yang menjejal di setiap sudut saat ini tak sedikit adalah “sampah” atau hal-hal yang sebenarnya tak perlu dikonsumsi. Disinilah dituntut kemampuan setiap pribadi untuk melakukan filterisasi informasi, ujarnya.
Namun demikian kemampuan menyaring informasi yang berseliwerang setiap saat ini, lanjutnya, hanya dapat dilakukan jika seseorang sudah memiliki frame atau kerangka berfikir ideologis yang jelas.
“Untuk melakukan pemilahan itu maka kita harus punya batasan dan frame. Inilah yang disebut dengan kesadaran ideologis. Frame ini hanya bisa terbangun dari tradisi intelektual yang terus diasah berkesinambungan,” jelasnya.
Sejatinya membangun tradisi intelektual memang tidak bisa ditegakkan secara instan. Maka dari itu kita harus membangun komitmen dan kesadaran, selain juga selalu menajamkan niat yang lurus untuk itu, kata mantan Ketua Majelis Syuro HMI MPO ini.
Sementara, peneliti INISIASI yang juga Ketua STIE Hidayatullah, Abdul Muhaimin, yang berbicara dalam kesempatan yang sama mengutarakan bahwa dengan terbangunnya tradisi intelektual maka seseorang akan melahirkan maqam (tempat yang mulia) di sisi Allah Subhana Wata’ala.
Lebih jauh lagi, yang terpenting dari seorang penuntut ilmu dalam rangka membangun tradisi intelektual ini, kata Muhaimin, adalah senantiasa menjaga nawaitu (niat) yang lurus hanya karena Allah.
“Niat adalah pondasi. Ilmu pengetahuan yang kita miliki bukanlah puncak dari segala-galanya. Makanya dalam doanya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengajarkan kita lafaz doa wa la mablagha ilmina,” ungkap Muhaimin.
Dalam doa penutup di setiap majelis ilmu, ada doa nabi yang telah diteladankan olehnya berbunyi: “Wa laa taj’alid dunya akbara hammina, wa la mablagha ‘ilmina” yang artinya “Ya Allah, jangan jadikan dunia menjadi cita terbesar dan tujuan ilmuku.
Sehingga, tegas dia, jika ada orang menuntut ilmu semata hanya mengharapkan tujuan dan cita-cita dunia, maka sungguh merugilah dia. Apalagi dalam khazanah tradisi intelektual Islam, tutur Muhaimin, kerangka etika tegaknya tradisi ilmu adalah lahirnya peserta didik yang ‘alim (berilmu) ‘abid (ahli ibadah) dan mujahid sekaligus. Inilah tujuan pencanangan gerakan pendidikan tauhid, pungkasnya.