Hidayatullah.com–- Istri mendiang Presiden RI, Abdurrahman Wahid, Hj Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid mengaku terus terang ketidakefektifan dari keberadaan Rancagan Undang-Undang (RUU) Kesetaraan Gender yang kini sedang dibahas di Panja Komisi VII DPR RI.
Menurut wanita yang aktif di berbagai LSM perempuan ini, adalah percuma jika RUU Kesetaraan Gender ini disahkan menjadi undang-undang, jika pada akhirnya tidak mampu diimplementasikan ke dalam masyarakat. Baginya, sedikit undang-undang namun bisa terimplementasikan itu jauh lebih baik, dibandingkan membuat banyak undang-undang tapi tidak mampu diimplementasikan.
“Bagaimana undang-undang yang dibikin ini memang betul-betul menjadi undang-undang yang betul-betul bisa dilaksanakan di tengah masyarakat, yang penting itu. Tidak menjadi cuma sekedar pajangan, tidak sekedar rangkaian kata-kata yang cuma untuk dilihat saja,” jelasnya pada hidayatullah.com belum lama ini.
Sinta juga menyadari bahwa kehadiran RUU KKG ini tidak bisa menyelesaikan masalah diskriminasi perempuan di Indonesia. Namun ia berharap dengan keseriusan untuk mengimplementasikan keberadaan undang-undang ini kelak bisa meminimalisir masalah diskriminasi perempuan.
“Kalau selesai kayaknya ngak ya, tapi paling tidak itu diminimalisir,” jelasnya.
Menurut Sinta, yang ia harapkan dalam RUU ini nanti adalah adanya harapan atas peran wanita untuk menjadi mitra sejajar dengan laki-laki di masa yang akan datang. Selain itu bisa menghapus perbedaan dan batasan dari peran perempuan dalam kehidupan bermasyarakat.
“Yang saya harapkan antara laki-laki dan perempuan itu bisa menjadi mitra sejajar, bisa saling bergandengan tangan, tolong-menolong, artinya ada kesejajaran antara kemampuan, orientasi pikiran, keahlian dan sebagainya itu sama, tidak ada bedanya lelaki dan perempuan,” tambahnya.
Saat disinggung mengenai tingkat perceraian yang akan jauh lebih meningkat dengan adanya RUU KKG ini, menurutnya untuk urusan perceraian tidak pantas dibahas ke dalam RUU KKG karena itu merupakan wewenang dari Departemen Agama. Baginya RUU KKG tidak perlu memfokuskan diri pada masalah besarnya angka perceraian yang terjadi di Indonesia dari tahun ke tahun.
”Itu sama saja menjarah wewenang dari lembaga yang lain,” jelasnya.
Sebelum ini, Dr. Arofah Windiani, SH, MHum dari MIUMI sempat membantah semua gagasa RUU KKG ini. Menurut anggota PP Aisyiyah ini, kepentingan relativisme, liberalisme dan celah westernisasi sebagai kepentingan yang bermain dibalik gagasan RUU ini, yang sangat bertentangan dengan nilai Pancasila.
“Tidak menjamin adanya RUU-KKG ini martabat wanita akan lebih baik, “ jelas wanita yang juga anggota Muhammadiyah ini.
Menurut wanita yang juga Wakil Dekan 1 Univesitas Muhammadiyah Jakarta ini, kehadiran RUU KKG ini sendiri dinilai bersifat campur-aduk dan tumpang tindih. Mengingat peraturan dan undang-undang yang menjaga hak-hak perempuan di Indonesia sudah dan banyak.*