Hidayatullah.com–Aung San Suu Kyi selama ini dikenal sebagai pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) dan aktivis pro demokrasi di Myanmar. Berkat perjuangannya menentang kekerasan rezim militer, wanita berumur 67 tahun ini diganjar Nobel Perdamaian pada tahun 1991. Sayangnya, sikap Suu Kyi menjadi berbeda dalam kasus penindasan terhadap Muslim Rohingya. Ia justru lebih banyak diam.
“Ini standar ganda,” jelas Ketua DPP HTI, Farid Wadjdi kepada hidayatullah.com, Rabu (18/07/2012).
Menurutnya, sikap tutup mulut dari Suu Kyi adalah bentuk kepanjangan tangan dari Barat.
“Dia masih antek Barat,” jelasnya.
Farid menilai HAM, bagi Suu Kyi hanya berlaku bagi orang-orang di luar Islam, tapi bagi umat Islam Tidak.
Sementara itu Zahir Khan, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia mengamini bahwa Suu Kyi adalah kepanjangan tangan Barat di Myanmar. Ia menilai diangkatnya nama Suu Kyi sebagai pejuang HAM tidak lepas dari kepentingan Amerika Serikat (AS) di negara Asia Tenggara tersebut.
“Dia sengaja ditunjuk agar policy Amerika dapat dilaksanakan,” katanya saat ditemui hidayatullah.com.
Zahir membandingkan kasus etnis Muslim Rohingnya ini dengan kebijakan Amerika Serikat (AS) di Afghanistan. Hamid Karzai, selaku Presiden Afghanistan didukung oleh AS menjadi pemimpin agar segala kebijakan Amerika dapat dilaksanakan.
“Jadi di mana-mana selalu begitu,” tegasnya yang juga mengurusi Badan Solidaritas Dunia Islam (BSDI).
Sebelum ini, saat ditanya mengenai nasib Muslim Rohingya dalam konferensi pers di Jenewa, Senin (20/6/2012), Aung San Suu Kyi yang juga dikenal sebagai pemimpin oposisi Myanmar ini justru mengarahkan pembicaraan mengenai latar belakang atau kewarganegaraan Muslim Rohingya. Ia tidak yakin apakah Muslim Rohingya merupakan warga negara Myanmar. Padahal Muslim Myanmar sudah berdiam diri semenjak pemerintahan Umar Bin Abdul Aziz.*