Oleh: Rosdiansyah
ADA sejumlah pihak yang mempertanyakan kenapa Rasulullah perlu dibela sampai harus turun berdemonstrasi ke lapangan, bahkan berhadapan langsung dengan aparat kepolisian di depan Kedubes AS, Senin, 17 Desember 2012. Pertanyaan semacam itu jelas keluar dari benak orang yang tak paham apa itu menjaga tradisi suci dalam sebuah agama. Selain itu, pertanyaan sejenis bisa mencuat dari batok kepala orang yang memang awam dalam soal agama. Jika ada juga tokoh agama, agamawan, rohaniwan atau intelektual di Indonesia yang juga punya pertanyaan serupa, maka sebenarnya dalam otak yang bersangkutan masih bersemayam pikiran jorok, galau dan bingung menghadapi realitas.
Pakar Islam mistik dari Universitas Harvard, AS, almarhumah Annemarie Schimmel, pernah berdebat panjang dan sangat akademis lawan filsuf Jerman Jurgen Habermas, terkait sayembara untuk membunuh penulis Inggris, Salman Rushdie. Kala itu, novel Salman bertajuk “the Satanic Verses” telah menyulut aksi protes dimana-mana. Novel itu menghujat citra suci Rasulullah dengan aneka penggambaran yang tak patut. Para pembela Salman, seperti Habermas, menegaskan, novel itu hanya karya fiksi, bukan berisi sesuatu yang faktual. Lagipula, setiap penulis perlu dilindungi kebebasan berekspresi. Jadi, Salman tidak bersalah.
Namun, dengan tangkas, Annemarie Schimmel menangkis argumen pembela Salman, dengan menyatakan bahwa tiap agama punya tradisi suci. Termasuk Islam, juga melahirkan tradisi suci, diantaranya mensucikan sosok dan citra Rasulnya. Kesucian ini merupakan bagian penting dalam tradisi agama dan tak bisa dipahami jalan pikiran sekulerisme yang cenderung membuat segalanya profan (tak suci). Memahami kesucian harus berangkat dari sejarah kelahiran agama itu sendiri dan bagaimana inti ajaran agama tersebut dijaga dan dirawat dari generasi ke generasi. Dijelaskan Schimmel, posisi Rasul dalam ajaran Islam sangat penting karena ia membawa firman suci dari Allah.
Kesalahan fatal secara ilmiah dan tak akademik dari para pendukung Salman Rushdie (dan juga pendukung kebebasan berekspresi film “The Innocence of Muslim” adalah mencampur-adukkan yang suci dan yang profan. Logikanya, pencampuran itu bukan seperti makanan gado-gado atau pecel, di mana masing-masing sayur masih bisa dirasakan. Melainkan pencampuran ala Barat saat ini lebih seperti memblender segala sesuatu sehingga melahirkan rasa tak jelas, bahkan seringkali rasa pahit campur kecut. Rasa semacam itu jelas tak elok bahkan bisa menimbulkan rasa amarah. Sebab, segala sesuatu menjadi tak jelas, kabur dan remang-remang. Itulah yang dilakukan kelompok sekuler ekstrem terhadap ajaran suci agama.
Walau disebut atas nama kebebasan berekspresi, namun kenyataan menunjukkan kebebasan manusia bukanlah kebebasan hewan. Sapi, domba atau anjing, juga punya kebebasan berekspresi tanpa mau dibatasi. Hewan mempunyai kebebasan mutlak yang tak mau dipagari oleh aturan apapun. Hak mereka untuk bebas memang dijamin, tapi hewan yang mempunyai kebebasan mutlak tentu bertindak semaunya hingga terjadi anarki. Dunia hewan jelas bukan dunia manusia sebab manusia merupakan mahluk derajat tertinggi dengan akal budi. Akal budi inilah yang dibimbing oleh firman Allah untuk mengetahui batas-batas kebebasan. Tidak ada larangan untuk bebas berekspresi dalam Islam, namun kebebasan itu sendiri dibatasi oleh etika, moral dan akhlak, individu dan sosial.
Baik kasus Salman Rushdie dengan novelnya, maupun kasus film “the Innocence of Muslim”, tentu menunjukkan kepada kita, bahwa AS, Inggris dan beberapa negara Eropa kini tengah memasuki zaman dekaden kebebasan.
Senjakala kebebasan mutlak ala zaman renaisans Eropa sepertinya tak mampu memahami perbedaan dan menghargai kemajemukan. Renaisans Eropa masa lalu yang kemudian anginnya dihirup dalam-dalam oleh para pemikir Anglo-Saxon (AS dan Inggris) saat ini, lalu disemburkan dalam sikap ngawur, sembrono dan serampangan terhadap ajaran suci agama, kini memicu kekacauan bahkan mengarah pada kesesatan berpikir.
Pembelaan terhadap kebebasan berekspresi secara mutlak sudah harus ditinggalkan. Jika tidak, maka para pembela itu akan menghadapi persoalan serius, terutama dalam sisi jiwa yang terbelah dan logika yang kacau balau.
Meski Schimmel merupakan ilmuwan non-Muslim, namun ia berhasil menyuguhkan sebuah argumen kokoh menghadang para pembela Salman. Namun demikian, argumen kokoh Annemarie Schimmel ini jelas tak dipahami batok kepala kelompok sayap kanan ekstrem Inggris, Eropa dan AS. Kelompok ini sebenarnya ‘sampah’ bagi masyarakat awam di dua benua itu, sebab tidak ada hal produktif yang telah dilahirkannya. Kelompok ini berteriak mendompleng kebebasan berekspresi namun sesungguhnya mereka berniat membodohi, menipu dan memanipulasi masyarakat awam. Kelompok ‘sampah’ ini merupakan musuh bersama penganut agama apapun, sebab kelompok ini telah melahirkan ideologi rasis anti-agama yang kerap meracuni benak kaum remaja. Dan kenyataan itu menjadi pekerjaan rumah serius dari pemimpin masing-masing negara di Eropa dan AS.*
Penulis adalah kolektor buku dan kitab, tinggal di Surabaya