Hidayatullah.com—Klarifikasi Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigadir Jenderal Polisi Boy Rafli Amar tentang perbedaan antara organisasi masyarakat HASMI dan kelompok HASMI yang dirilis kepolisian terkait dugaan tindak terorisme mendapat tanggapan, pemerhati Kontra-Terorisme yang juga Direktur CIIA, Harits Abu Ulya.
Menurut Harits, klarifikasi itu sebagai langkah baik, sekaligus menunjukkan kecerobohan aparat, dalam hal ini Polri dan Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88.
“Akhirnya Polri mengatakan HASMI yang ormas di Bogor berbeda dengan HASMI yang dituduh terkait teror. Ini contoh kecerobohan kedua dalam satu pekan yang dilakukan aparat dan Densus,” ujar Harits dalam sebuah pernyataan yang dikirim ke redaksi hidayatullah.com, Rabu (31/10/2012).
Menurut Harits, tidak ada ceritanya ormas Islam di Indonesia indentik dengan gerakan teroris, jika ada maka itu adalah persepsi pihak luar terhadap ormas-ormas Islam. Sebab jika dilihat dari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) nya ormas-ormasi Islam manapun pasti tisak mendukung aksi terorisme, apalagi dikaitkan dengan label teroris. Jika ada, pasti itu hanya oknum anggotanya dan tidak bisa dijadikan dasar generalisasi untuk melabeli sebuah ormas.
“Bahkan jika oknum tesebut sejarahnya terkait dengan ormas tertentu, tetap saja tidak bisa di generalisir,” tambahnya.
Lebih jauh Harits mendesak pemerintah, polisi atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjelaskan secara terbuka apa definisi teroris yang selama ini sering merekapakai.
“Kalau serius dan berani, berdasarkan definisi teroris yang diadopsi pemerintah, kenapa tidak pernah diumumakaan secara terbuka dan resmi. Mana ormas atau individu atau kelompok yang di cap teroris yang harus diberantas?” ujarnya.
Namun pasti itu tidak akan dilakukan, karena menurutnya, selama ini, kata “teroris” selalu menjadi istilah sangat politis dan bisa dipakai sesuka-sukanya.
“Buktinya, sering pihak aparat tidak hati-hati dan ceroboh dengan menyebut kelompok tertentu. Seharusnya bisa dihindari karena itu membangun opini yang justru kontra produktif.”
Pemerintah dan aparat, harusnya terbuka dan jujur, apa latarbelakang munculnya terorisme, dan mengapa orang-orang Islam semua menjadi korban dan kambing hitam. Apakah setiap orang atau kelompok yang berhadapan dengan kepentingan imperialis Amerika Serikat (AS) dan status quo dengan ideologi sekuler maka bisa dicap “teroris” dengan berbagai cara dan rekayasa?, ujar Harits .
Dua HASMI berbeda kepanjangan
Sebelumnya, hari Senin (29/10/2012), Kepala Biro Penerangan Masyarakat Brigadir Jenderal Polisi Boy Rafli Amar membenarkan ada perbedaan antara organisasi masyarakat HASMI dan kelompok HASMI yang dirilis kepolisian terkait dugaan tindak terorisme.
“Jadi berbeda. Kami berkeyakinan berbeda tidak berkait. Kami tidak ingin terjebak dengan hal nama, kelompok. Tapi lebih fokus pada apa yang mereka perbuat, apa yang mereka rencanakan. Karena nama ini bisa menyesatkan, mengelabui, pemanfaatan orang-orang tertentu untuk tujuan-tujuan tertentu,” kata Boy seusai menerima perwakilan Ormas HASMI di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta.
Pernyataan Polri disampaikan usai kedatangan perwakilan HASMI pun memang untuk mengklarifikasi soal pemberitaan adanya terduga “teroris” baru bernama HASMI.
“Kami ormas resmi. HASMI bukan yang dimaksudkan oleh pemberitaan tersebut,” kata Ketua DPP HASMI Dr Muhammad Sarbini.
Menurut Sarbini, ada kemiripan nama antara ormas yang dipimpinnya dan kelompok teror tersebut. Perbedaannya terletak pada singkatan. Ormas HASMI adalah Harakah Sunniyah untuk Masyarakat Islami. Sedangkan kelompok teror HASMI yang dirilis polisi adalah Harakah Sunny untuk Masyarakat Indonesia.*