Hidayatullah.com— Guru Besar Ilmu sejarah, Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif, MA, mengaku prihatin masih ada kaum Muslim di Indonesia yang menentang paham pluralisme agama. Menurut Pendiri Ma’arif Institute ini, persoalan anti pluralisme seringkali berakar pada kekeliruan memahami pluralisme. Ia juga mengkritisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menolak pluralisme, termasuk soal larangan mengucapkan Selamat Natal beberapa waktu lalu. (baca juga: Ulama Jangan Gunakan Istilah “Pluralisme Agama”)
“Saya sendiri sudah puluhan tahun mengucapkan Selamat Natal tanpa merasa terikat dengan pendapat-pendapat orang yang berpaham sempit yang serba mengharamkan”, kata mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, dalam diskusi di Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, hari Senin (14/01/201) sebagaimana dikutip Ucanews.
Ia menjelaskan, merupakan malapetaka peradaban jika masih saja ada kelompok yang ingin membunuh perbedaan dengan dalih agama yang dipahami secara sempit dan egoistik.
Padahal menurut dia, sudah seharusnya Muslim lapang dada ke luar dan ke dalam. “Ke dalam untuk kelompok iman yang sama tetapi berbeda penafsiran dan keluar untuk kelompok iman yang berbeda tetapi sama-sama percaya kepada Tuhan menurut anutannya masing-masing”.
Ia juga menyatakan kekuatiran terhadap berbagai bentuk perusakan dan penolakan pembangunan rumah ibadah oleh kelompok-kelompok Muslim intoleran.
Padahal, menurut dia, secara teologis-Qur’ani, Islam menyatakan pembelaannya terhadap rumah-rumah ibadat milik siapa saja, Muslim dan non-Muslim, juga ketika ada pihak yang merusaknya.
“Mengapa ketentuan ini jarang diucapakan oleh mereka yang suka merusak bangunan tempat ibadah?”, katanya.
Berhadapan dengan kondisi ini, ia berharap peran polisi sebagai pihak yang bertanggung jawab dan wakil negara untuk melindungi setiap warga negara dioptimalkan.
“Masalah yang pelik di Indonesia, terutama sejak era reformasi (tahun 1998) terletak pada lemahnya fungsi aparat penegak hukum”, katanya.
Ma’arif mengingatkan bahwa organisasi-orgnsiasi hanya memiliki kekuatan moral, tapi tidak memiliki kekuatan fisik.
“Tapi, peran tokoh agama mesti tetap ditegakkan, meski sering kurang didengar. Hanya maut sajalah yang dapat menghentikan kita menyuarakan kebenaran dan keadilan dalam upaya mencapai tujuan kemerdekaan yang terbengkelai sejak proklamasi 68 tahun yang lalu”, tegasnya.
Klaim Kebenaran
Sebelumnya, pakar bidang pluralisme agama pertama di Indonesia, Dr. Anis Malik Toha dalam artikelnya berjudul, “Pluralisme, Klaim Kebenaran yang Berbahaya” mengatakan, gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wacana pemikiran Islam melalui karya-karya pemikir-pemikir mistik Barat Muslim seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad).
Menurut Anis, yang juga Asisten Profesor pada IIUM Malaysia ini, pluralisme ingin tampil sebagai klaim kebenaran yang humanis, ramah, santun, toleran, cerdas, mencerahkan, demokratis, dan promising. Hal ini antara lain dikatakan oleh tokoh pluralis yang paling bertanggung jawab, John Hick.
Alih-alih seperti permainan sepak bola, pluralisme ingin bertindak sebagai pemain juga wasit yang mengontrol dan menjaga ketertiban jalannya permainan, termasuk mengeluarkan kartu merah. Karena itu, konsep dan paham ini tak bisa digunakan.
“Alhasil, konsep pluralisme yang menganggap semua agama sama saja, tak mungkin bisa dipertahankan. Juga tak mungkin bisa dipraktikkan dalam kehidupan nyata tanpa memberangus HAM,” ujarnya.*