Hidayatullah.com–Keluarga korban penembakan oleh Densus 88 hari Selasa (22/01/2013) mendatangi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dengan tetap mereka menjelaskan kronologis pembunuhan atas keluarga mereka MUI.
Suara Endang, istri dari Ahmad Kholid yang ditembak Densus di Masjid Al Nur Afiah Rumah Sakit (RS) Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar (04/01/2013) sedikit gemetar. “Kalau saya tidak cari tahu sendiri, saya tidak akan pernah tahu bahwa suami saya sudah mati ditembak Densus 88,” jelasnya kepada Sekjen MUI Amirsyah Tambunan.
Pasalnya, menurut Endang, penembakan terhadap suaminya hingga hari ini tidak ada pemberitahuan apapun dari pihak Densus 88 dan kepolisian. Saat eksekusi Ahmad Kholil, Endang sudah punya perasaan tidak enak dalam hatinya.
Ia bercerita, setiap pagi almarhum suaminya selalu membantunya membuat kue. Di hari penembakan itu, suaminya pamit ingin menjenguk temannya yang sedang sakit di RS Dr Wahidin. Hingga melewati waktu zuhur sang suami tidak kunjung pulang.
“Saat masuk waktu Ashar, anak saya pulang menangis. Dia diberitahu teman-temannya bapaknya sudah mati ditembak di masjid,” jelasnya menahan tangis.
Endang juga menjelaskan, ia baru bisa memastikan bahwa suaminya sudah mati tertembak setelah melihat fotonya. Malamnya melalui foto dari adiknya, ia melihat wajah suaminya di dalam kantong mayat.
“Saya baru bisa melihat jenazah suaminya saya tanggal 10 Januari, dan saya tidak boleh membawanya pulang,” tambah Endang.
Endang juga membantah pemberitaan yang mengatakan bahwa suaminya mencoba melawan Densus 88. Menurutnya, tuduhan suaminya adalah teroris jelas mengada-ngada. Selain sering membantu membuat kue, suaminya juga dikenal mencari nafkah dari jasa servis alat elektronik.
Wanita yang menggunakan cadar ini menjelaskan bahwa kejadian penembakan di dalam masjid itu terjadi pukul 10.00. Saat itu suaminya hendak melakukan sholat dhuha.
“Warga yang melihat memberi tahu bahwa saat Densus 88 datang tanpa peringatan langsung menembak suami saya dari belakang,” tambahnya.
Nasib naas juga dialami Syamsudin, rekan Ahmad Kholil. Ia juga mendapat nasib sama dengan Ahmad Kholil. Ditembak mati tanpa adanya peringatan dari Densus 88 pada saat bersamaan.
Syamsudin dan Ahmad Kholil memang bertetangga. Menurut Verawati, adik dari istri Syamsudin, istri Syamsudin tidak bisa ke Jakarta karena masih mengalami shock. Hingga ia mengadu ke MUI, belum ada pemberitahuan atas pembunuhan kakak iparnya itu.
Endang dan Verawati hanya berharap keadilan. Ia minta Densus 88 membuktikan keterlibatan suaminya dalam jaringan terorisme secara terbuka. Selain itu ia meminta jenazah suaminya dikembalikan.
Kekecewaan mereka semakin menjadi-jadi setelah Densus 88 melakukan otopsi tanpa izin keluarga.
“Jenazah Syamsudin dibedah dari bawah dagu hingga pusernya, saya bingung untuk apa itu dilakukan,” jelas Verawati yang pada hari yang sama juga diterima oleh Komisioner Komnas HAM, Nurcholish di kantornya.
Komnas HAM berjanji akan melakukan pengusutan atas kejanggalan-kejanggalan sikap Densus 88. Sementara MUI sendiri sudah melakukan kritik keras. Selain sudah memperingatkan Kapolri, MUI juga akan membawa ini ke DPR RI untuk dievaluasi secara serius.*