Hidayatullah.com–Tersangka teroris sekalipun harus diperlakukan dengan adil dan fair, apalagi proses hukum dan peradilan terhadap mereka belum dimulai.
Pernyataan ini disampaikan pengamat Hak Asasi Manusia (HAM), Heru Susetyo.
Dosen hukum Universitas Indonesia (UI) yang sedang melanjutkan program PhD Human Rights Studies di Mahidol University ini mengatakan, siapapun tak berhak menjadi hakim selama proses peradilan belum dimulai. Apalagi membuat hilangnya nyawa seseorang.
“Bagaimana dapat memastikan bahwa mereka benar-benar teroris dan dapat ditembak mati apabila proses peradilan saja belum dimulai? Bagaimana kalau ternyata mereka bukan teroris dan sudah terlanjur ditembak mati? Biarlah pengadilan mengurusnya, tugas Densus hanyalah menangkap dengan cara-cara yang sesuai prosedur. Bukan langsung mengadilinya, seperti hakim saja,” ujarnya kepada hidayatullah.com.
Mengenai kiprah Densus 88 akhir-akhir ini, ia melihat Densus sudah lama keluar dari rule of law dan praduga tak bersalah (presumption of innocence).
“Densus seperti superbody yang di atas hukum dan di atas KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata),” tambahnya.
Semestinya, menurut mantan Direktur Advokasi Hukum dan HAM Indonesia (PAHAM) ini, proses penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan, harus sesuai dengan KUHAP dan memperhatikan azas hukum lain, seperti antipenyiksaan (Indonesia sudah meratifikasi konvensi anti penyiksaan/Convention Against Torture pada tahun 1998) dan tetap memperhatikan kehormatan martabat, keadilan, proses hukum yang fair seperti yang dimandatkan oleh International Covenant on Civil and Political Rights. Di mana Indonesia telah meratifikasinya dengan UU No. 12 tahun 2005.
Juga penangkapan dan penembakan di depan anak-anak adalah sejatinya melanggar Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia dengan Keppres No. 36 tahun 1990.
“Anak berhak hidup bebas dari kekerasan dan trauma. Luka trauma yang menghinggapi si anak akan sulit hilang dari hidupnya dan mempengaruhi perkembangan jiwanya,” tambahnya. [cha/hidayatullah.com]