Hidayatullah.com–Meski sudah memasuki bulan Februari dan tanggap darurat banjir sudah lewat, namun musibah banjir masih mungkin terjadi, hal ini bisa terlihat saat beberapa daerah selain Jakarta yaitu Bekasi dan Cirebon yang belum lama ini dilanda banjir cukup besar.
Menurut peneliti lingkungan hidup Dr. Fahcruddin Mangunjaya, M.Si., masih adanya kemungkinan banjir kiriman terjadi karena adanya konektivitas antara hulu dan hilir sungai.
“Hujan dapat terjadi di bagian hulu saja (misalnya di Bogor dan Cianjur atau Sukabumi), lalu air hujan itu dialirkan melalui Sungai Ciliwung ‘Dikirim” ke Jakarta. Jadi istilah banjir kiriman adalah karena terhubungnya ekosistem sungai yang ada di hulu dan di hilir,” jelas Doktor lulusan Program Manajemen Lingkungan dan Pemberdayaan Alam Institut Pertanian Bogor ini saat dihubungi oleh hidayatullah.com, Kamis (07/02/2013).
Karenanya ia berpendapat agar penanggulangan banjir tidak bisa dilakukan di Jakarta saja, tetapi juga di kawasan hulu harus dipertahankan.
“Kita tahu di puncak sekarang masih masif pembukaan lahan yang merupakan daerah resapan banjir yang potensi airnya luar biasa besar akan mengalir apabila tutupan hutan itu dibuka, dikonversi menjadi villa atau perumahan. Dampaknya akan dikirim ke Jakarta,” jelasnya.
Oleh karenanya, jika ingin menanggulangi masalah banjir, harus ada perbaikan dari hulu hingga ke hilir hingga perlu adanya sumur resapan dan pohon di ruang terbuka.
“Masalah Jakarta dan sekitarnya sudah dangat kompleks. Jadi harus ada rencana komprehensip di hulu dan dihilir sungai. Di kawasan hulu, kawasan terbuka perlu konsisten ditanami kembali dengan pohon dan diperlukan sumur resapan, kembalikan fungsi hutan lindung dan pertahankan sebagaimana mestinya. Bagian hilir, kembalikan setu-setu atau pertahankan yang telah ada. Buat sumur resapan seperti diperintah Jokowi, dengan peraturan daerah untuk semua bangunan sehingga wajib, mulai dari bangunan pemerintah hingga swasta,” terangnya.
Selain itu, ungkap Fachruddin, pemerintah perlu mengkaji ulang izin bangunan yang mengokopasi (merampas) hak air untuk tergenang dan kemudian air tersebut pindah ketempat lain.
Untuk ini, menurutnya perlu penyadaran dan proses.
“Gorong-gorong bisa menjadi solusi, namun akan memakai biaya yang sangat mahal,” ujarnya.
Faktor manusia dan alam
Menurut pendiri Yayasan Borneo Lestari di Kalimantan Tengah, ini, bagaimanapun, banjir terjadi karena dua factor; faktor manusia dan faktor alam.
“Banjir adalah akibat hujan yang merupakan fenomena alam. Hujan terjadi setiap tahun dan bisa diramalkan, sehingga sekarang kita bisa memprediksi ada siklus monsoon yang biasa terjadi empat atau lima tahun sekali, karena curah hujan yang demikian besar. Banjir adalah akibat dari ketidak mampuan manusia melakukan pengurangan (mitigasi) sehingga dampak yang diakibatkan hujan tidak menjadi bencana,” jelasnya.
Kendati demikian, menurut Fahcruddin, mitigasi dapat dilakukan dengan menanam pohon dan membiarkan daerah-daerah resapan berfungsi.
“Misalnya tidak mengkonversi ‘setu’ menjadi mall atau perumahan yang akibatnya curah hujan tidak tertampung kemudian keadaan menjadi tidak seimbang. Kedua, para ahli meminta, manusia melakukan upaya adaptasi, artinya, memperbaiki saluran drainase yang cukup menampung curah hujan yang besar (secara perhitungan), tidak membangun di kawasan beresiko banjir dan seterusnya.”*