Hidayatullah.com–Presiden Republik Indonesia (RI) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali memberikan pernyataaan seputar krisis terbaru di Mesir. SBY mengatakan, penggunaan kekuatan dan senjata dalam menangani aksi demonstrasi di Mesir secara berlebihan bertentangan dengan nilai demokrasi dan kemanusiaan sehingga harus segera dihentikan.
“Penggunaan kekuatan dan senjata militer terhadap demonstran di Mesir, apalagi berlebihan, bertentangan dengan nilai demokrasi dan kemanusiaan,” kata Presiden dalam akun twitter-nya @SBYudhoyono di Jakarta, Kamis, (15/08/2013).
Kepala Negara mengatakan situasi di Mesir makin memprihatinkan. Korban jiwa mulai berjatuhan dan Indonesia berharap keadaan tidak memburuk.
“Saya berpendapat meskipun sulit, solusinya haruslah `win-win` didahului dengan penghentian semua aksi kekerasan dari kedua belah pihak,” katanya.
SBY juga menyerukan agar kalangan sipil dan militer di Mesir bekerjasama untuk mengelola reformasi di negara tersebut. “15 tahun lalu, Indonesia juga mengalami goncangan politik dan keamanan. Namun bisa diatasi karena militer dan sipil berkolaborasi untuk reformasi,” paparnya dikutip Antara.
Sikap Erdogan
Sebagaimana SBY, Presiden Barack Obama juga mengecam kekerasan atas warga sipil Mesir dan membatalkan latihan militer bersama Amerika Serikat-Mesir.
“Amerika Serikat mengecam keras langkah yang diambil oleh pemerintah sementara Mesir dan aparat keamanan. Kami menyesalkan kekerasan atas warga sipil, kami mendukung hak dasar universal atas martabat manusia, termasuk hak untuk berunjuk rasa damai.”
Obama juga menegaskan bahwa kerja sama tidak bisa berjalan seperti biasa ketika warga sipil mati di jalanan.
Menurut Obama kekuatan jelas bukan cara untuk mengatasi perbedaan politik dan tetap ada peluang untuk rekonsiliasi dan kesempatan mencapai jalur demokrasi.
Beda SBY dan Obama, beda pula dengan Perdana Menteri Turki Tayyip Erdogan. Orang nomor satu di Turki ini hari Kamis langsung mengadakan jumpa pers, mendesak Dewan Keamanan PBB membahas pembantaian Mesir untuk menghentikan pertumpahan darah.
Lebih tegas lagi, Turki langsung memanggil pulang duta besarnya untuk Mesir, menyusul insiden berdarah yang menewaskan tak kurang dari 638 orang dan melukai 4.000 orang pada Rabu (14/8/2013).
“Mereka yang tinggal diam menghadapi pembantaian ini sama bersalahnya dengan mereka yang melakukan (pembantaian) ini. Dewan Keamanan PBB harus segera membahas (masalah ini),” tegas Erdogan dalam konferensi pers di Ankara.
Selain itu, Turki berpendapat, Barat telah menerapkan standar ganda yang sangat kentara dalam menyikapi situasi di Mesir. “Saya sampaikan pada negara-negara Barat. Anda tetap diam di Gaza, Anda tetap diam di Suriah… Anda masih diam pada Mesir. Jadi kenapa Anda berbicara tentang demokrasi, kebebasan, nilai-nilai global, dan hak asasi manusia?” kecam Erdogan lantang.
Turki menjadi salah satu negara yang paling keras mengkritisi kudeta militer terhadap pemerintahan Presiden terguling Mesir Mohammad Mursy. Meski demikian, dalam kecaman kerasnya menyusul insiden berdarah Mesir, Erdogan tak menyinggung sikap negara-negara Arab yang sama-sama berdiam diri.
Erdogan juga mengkritik Barat yang menerapkan standar ganda terkait penggulingan Mursy yang berbuntut “pembantaian” pada Rabu.
“Mereka yang mengabaikan kudeta ini, mereka yang tidak bisa mengkritik kudeta, dan mereka yang bahkan gagal untuk menampilkan kehormatan untuk menyebut kudeta sebagai ‘kudeta’, juga bertanggung jawab atas pembunuhan anak-anak tak berdosa,” tegas Erdogan.*