Hidayatullah.com–Pemakaian istilah ‘Dinul Islam’ untuk penyebutan pelaksanaan syariat Islam ditolak oleh ulama yang tergabung dalam Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA). Penolakan tersebut dituangkan dalam salah satu butir rekomendasi Mubes ke-2 HUDA yang berlangsung di Asrama Haji Banda Aceh, 29 November-1 Desember 2013.
Ulama HUDA berpendapat, kata syariat sudah lebih mengarah dibandingkan kata Dinul Islam yang memiliki makna lebih luas. “Syariat Islam tidak bisa ditukar dengan istilah Dinul Islam dan kami tidak setuju dengan upaya ini,” kata Ketua HUDA terpilih, Tgk H Hasanoel Basry HG. “Tugas kecil saja belum bisa ditunaikan secara maksimal, bagaimana mungkin mengajukan diri untuk mengerjakan tugas yang lebih besar,” lanjutnya.
Diberitakan Serambi Indonesia, Senin (02/12/2013), istilah ‘Dinul Islam’ mengemuka dalam seminar sehari “Evaluasi Pelaksanaan Dinul Islam Dalam Rangka Tahun Baru Islam 1435 H” yang dilaksanakan Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, di Aula Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Senin 25 November 2013.
Salah satu alasan pergantian kata syariat menjadi Dinul Islam adalah untuk menghilangkan kesan radikal dan menakutkan terhadap pelaksanaannya, sehingga dengan berubahnya syariat Islam menjadi Dinul Islam ini dinilai akan lebih lunak dan tak lagi berkesan ‘angker’. Tak ayal, wacana itu memicu protes, bahkan masuk menjadi salah satu agenda pembahasan di forum Mubes HUDA.
Ketua HUDA terpilih, Tgk H Hasanoel Basry HG menjelaskan, mengenai sistem syariat yang diterapkan di Aceh, Pemerintah Aceh hendaknya dapat memperhatikan cita-cita para ulama seperti mendengarkan rekomendasi ulama. Untuk membangun relasi yang harmonis antara ulama dan umara, lanjutnya, perlu kesediaan pemerintah mendengarkan nasehat para ulama serta mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi yang diberikan.
“Dengan mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi ulama ini, kita berharap agar Aceh makmur, sejahtera, dan jaya dunia akhirat,” ujar Hasanoel.
Selain rekomendasi jangan ganti kata syariat, Mubes ke-2 HUDA juga melahirkan rekomendasi lain, di antaranya mempersatukan ulama dan umat Islam Melayu. “Untuk mempersatukan ulama Melayu, kita di Aceh harus memperkuat dulu persatuan internal kita. Walaupun mungkin akan ada benturan-benturan karena banyaknya organisasi ulama, tapi insya Allah kita akan bisa mewujudkan agenda-agenda ini,” katanya.
Dalam program pengembangan HUDA ke tingkat internasional, selain akan membina hubungan dengan ulama Melayu, juga akan mencoba membangun kerja sama dengan ulama-ulama di negara maju, seperti ulama di Turki. Untuk itu, kata Hasanoel, pihaknya akan mencoba mencari orang yang bisa menjembatani agar program ini dapat terlaksana.
“Turki punya hubungan yang kuat dengan Aceh di masa lampau dan hubungan itu akan kita perkuat kembali, insyaallah,” tandas Tgk H Hasanoel Basry.*