Hidayatullah.com–Pakar Hukum Tata Negara, Irman Sidi Putra mendesak presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk keluarkan peraturan presiden tentang jilbab polisi wanita (Polwan).
“Karena presiden membawahi Kapolri, presiden bisa keluarkan peraturan presiden atau peraturan pemerintah tentang pakaian yang berlaku di TNI, Polri dan pegawai negeri sipil,” demikian ungkap Irwan dalam diskusi tentang “Negara, Wanita dan Jilbab”, Sabtu pagi (08/03/2014) di Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI).
Tapi, pernyataan Irman ini disanggah oleh seorang peserta diskusi. Peserta itu menyatakan keraguaannya presiden berani mengeluarkan peraturan.
“Karena Bu Ani sendiri tidak berjilbab dan malahan beredar kabar di kalangan wartawan bahwa Bu Ani lah yang mendorong telegram pembatalan jilbab Kapolri itu,”terang sang mahasiswa dalam diskusi yang dilaksanakan kelompok mahasiswa Nuansa Islam Mahasiswa Universitas Indonesia (SALAM) UI ini.
Irman menyatakan bahwa kewajiban negara sebenarnya adalah memenuhi hak rakyatnyam termasuk hak mengenakan jilbab bagi Polwan.
“Apalagi ini menyangkut keyakinan dasar warga negara. Kapolri bisa melanggar Undang-undang kalau melarang jilbab,”terangnya.
Ia juga mendesak kepada Kapolri agar segera membolehkan jilbab bagi bawahannya, karena berpakaian sesuai dengan keyakinan agama itu diatur Undang-undang.
Kasus Akpol Semarang
Sementara itu, Meneger Nasution, anggota Komnas HAM menyatakan bahwa kini telah ada laporan dari seorang pengajar Akpol di Semarang yang dilarang memakai jilbab.
“Ia telah menulis laporan kepada Komnas HAM mengadukan bahwa ia dilarang mengajar di Akpol karena memakai jilbab,”terangnya. Karena itu secepatnya Komnas akan mendatangi Akpol Semarang untuk masalah ini.
Nasution mengakui bahwa pelanggaran terbesar yang dilaporkan masyarakat ke Komnas HAM ada pada institusi Polri. Masalah jilbab ini adalah salah satunya. Karena itu ia mendorong mahasiswa atau elemen-elemen masyarakat lain agar melakukan pengaduan tertulis ke Komnas HAM. Dan Komnas HAM akan mengadukan kepada Kapolri dan Presiden tentang keluhan masyarakat ini.
Hal serupa juga diungkap anggota DPR Komisi I Mardani Sera dari fraksi PKS. Ia mendorong agar mahasiswa melakukan gerakan yang sistematis untuk masalah jilbab polwan ini.
“Datangi setiap fraksi dan minta pendapat mereka tentang jilbab Polwan ini,”sarannya. Ia berterus terang bahwa DPR belum satu pendapat tentang kebebasan jilbab di Polri ini.
Dalam diskusi itu, seorang peserta juga menyarankan agar anggota DPR serius dalam masalah jilbab ini.
“Dalam kasus Century saja bisa beberapa anggota DPR membawa kasus ini ke opini publik. Tapi dalam masalah jilbab belum ada keseriusan dari anggota DPR untuk menekan Kapolri. Kalau bisa membuat opini tiap hari di media tentang maalah ini,”terangnya.
Sedangkan wakil dari MUI, Fahmi Salim menyanggah peryataan petinggi Polri tentang kerumitan seragam Jilbab.
Menurutnya tidak sampai satu hari masalah seragam Jilbab ini akan selesai kalau Kapolri mau duduk dengan MUI.
“MUI bisa mengeluarkan pedoman segera bila Kapolri memintanya,”tegasnya.
Seperti diketahui, Kapolri jenderal Sutarman pernah menyatakan dibolehkannya Polwan berjilbab pada 19 November 2013. Saat itu umat Islam begitu antusias. Polwan-polwan yang selama ini ingin berjilbab, keesekokan harinya pun di berbagai daerah mengenakan jilbab.
Izin Sutarman lantas direspon sejumlah Polda dengan memamerkan busana polwan yang mengenakan jilbab. Seperti Polda Metro Jaya pada 25 November 2013, yang menggelar apel sekaligus mengenalkan model jilbab untuk para polwan.
Namun 29 November, Wakil Kepala Polri Oegroseno tiba-tiba mengirimkan telegram kepada Polda se-Indonesia untuk menunda pemakaian jilbab bagi Polwan.*/ Abu Zidni Taqiyudin