Hidayatullah.com—Di sebuah gerbong kereta jurusan Jakarta-Purwokerto, Cicih Sukaesih menuliskan surat cintanya. Surat itu merupakan letupan kegelisahan pada anaknya yang tak kunjung mengabarinya.
Nak… Umi kangen….
Berapa lama rasanya tak mendengar celotehmu
Tulisan-tulisanmu yang membuat jiwa bergairah
Nak…Umi sekarang sedang berjalan menuju cintamu
Bukan karena kau tak makan
Karena Umi tahu, kau tak akan pernah kelaparan
Bukankah shaum biasa kau lakoni?
Nak…sekarang Umi sedang berjalan menuju cintamu
Bukan karena takut kau sakit…
Karena Umi tahu kau orang yang kuat dan mandiri
Tahu bagaimana cara bertahan hidup
Tapi…Umi sekarang sedang berjalan menuju cintamu
Karena Umi ingin tahu…
Dimana jiwamu berlabuh saat ini…
Tulisan yang dibuat disepanjang perjalanan tersebut diharapkan mampu mengurai simpul-simpul kerinduan seorang ibu pada anaknya. Selama dua minggu terakhir, Salman, anak lelakinya, tidak bisa dihubungi melalui telepon, SMS maupun akun di sosial media.
“Kata temannya, Salman ada kok di kampus. Dia lagi sibuk menyiapkan pagelaran. Tapi saya tetap khawatir karena tak bisa dihubungi, “ ungkap Cicih.
Kisah Cicih ini ia sampaikan saat presentasi tentang fenomena Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgende (LBGT) di kalangan remaja pada peserta Training For Trainers (TFT) Feminisme dan Kesetaraan Gender Tingkat Lanjutan yang berlokasi di AQL Islamic Center, Jakarta, belum lama ini.
Tak dapat menunggu lebih lama lagi, Cicih bergegas memesan tiket kereta untuk “menjemput buah hatinya” yang tengah studi di Universitas Negeri Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Jawa Tengah.
Kepergiannya membawa segudang pertanyaan tentang anaknya: “Sedang apa?” dan “bersama siapa?” Pergaulan bebas remaja, ditambah fenomena kerusakan remaja bernama kelainan LGBT, dinilai mengkhawatirkannya.
Siang hari, sesampainya di Unsoed, Cicih berhasil bertemu sang anak. Rentetan pertanyaan masi ia ajukan. Mendapatinya dalam keadaan baik, seketika rasa gelisah tergantikan dengan ketenangan.
Saat itu, Salman merupakan salah satu penanggungjawab sebuah acara kampus. Ia sangat sibuk. Selama hampir sebulan, bersama teman-temannya, Salman intensif memonitor persiapannya.
“Akhirnya, Umi sudah ketemu cinta-nya, kan?”kata Salman di sela-sela persiapan acara pagelaran.
Raut kegelisahan sirna dari wajah Cicih. Pengertian yang ditunjukkan Salman atas kehadiran ibunya, meruntuhkan kegalauannya. Berikutnya, Salman meminta Cicih duduk di sebuah taman yang menghadap ke panggung pertunjukkan. Hari itu pagelaran siap dimulai.
Cicih hanyalah satu dari jutaan para ibu yang khawatir terhadap pengaruh pergaulan remaja masa kini. Komunikasi yang tidak lancar, tinggal berjauhan dari orangtua, membuka celah-celah pikiran negatif seperti yang dirasakannya.
Ketakutan itu dinilai sebuah kewajaran di tengah kehidupan yang makin permisif pada pelanggaran norma agama.
“Nak, kamu mau nikah, nggak? Supaya kuliah ada yang nemani. Nggak papa, kuliah sembari menikah,”ujar Cicih pada Salman menjelang kepulangannya ke Jakarta. Tawaran itu meluncur secara jelas dan sadar. Mahasiswa semester 7 itu mencoba menyembunyikan kekagetannya.
“Umi apaan, sih?! Aku lagi nggak mikirin perempuan,”ucap Salman malu-malu.
“Wah, kalau nggak mikirin perempuan, Umi malah lebih takut lagi!”kata Cicih beralasan. Ia merasa, menikah merupakan solusi tepat untuk meredam pergaulan bebas di zaman seperti ini.
Cicih mengatakan, LGBT ibarat penyakit menular. Jika tidak segera diobati, pengaruhnya meluas. Pengobatannya mudah, kembali pada tuntunan Islam dalam mengatur hubungan lawan jenis.
“Ibu yang punya anak remaja, jangan pernah tidur nyenyak sebelum Ibu tahu kondisi anak Ibu seperti apa sekarang ini!”pungkas Cicih.
Namun, Ia juga menyarankan para orangtua untuk tidak bersikap berlebihan ketika mendapati SMS, foto atau telepon yang ditujukan untuk anak mereka dari teman lawan jenisnya. Para orangtua perlu mencermati terlebih dahulu pergaulan anak-anaknya.
“Kita selalu bilang pada anak kita supaya mereka tidak boleh pacaran. Padahal, kita tidak pernah memberikan ilmunya, kenapa tidak boleh pacaran? Kenapa tidak boleh berinteraksi lebih dari yang seharusnya?”jelasnya di hadapan puluhan peserta TFT yang diselenggarakan oleh Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia belum lama ini.
Menurut Cicih, tugas para orangtua saat ini sangat berat. Teknologi yang berkembang pesat memungkinkan siapapun mengakses informasi yang positif ataupun negatif.
Membangun komunikasi yang baik akan mempermudah pembinaan para remaja, ujarnya.*