Hidayatullah.com–Maraknya pelegalisasian pernikahan sesama jenis di sejumlah negara merupakan salah satu dampak dari adanya “Homo Politic”.
Pernyataan ini disampaikan Direktur the Center for Gender Studies, Dr. Dinar Dewi Kania saat mengisi sebuah kajian Dialog Lepas Isya (D’LISYA) di Masjid Agung Al Azhar, belum lama ini.
Dinar menjelaskan, “Homo Politic” merupakan sarana untuk mempromosikan Lesbian, Homo, Biseksual dan Transgender (LGBT) agar mereka diterima dan diakui serta diberikan hak-haknya sebagai LGBT di tengah-tengah masyarakat.
“Bukan hak-hak mereka sebagai manusia, tapi hak-hak mereka sebagai LGBT. Mereka ingin diakui dan dibenarkan perilakunya di tengah masyarakat. Konsekuensinya ialah pelegalan pernikahan sejenis, homoseks dan lesbian,” jelas perempuan yang juga menjadi Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Aliansi Cinta Keluarga (AILA) ini pada peserta kajian yang diantaranya merupakan pegawai kantoran ini.
Ia juga memaparkan, ada beberapa negara yang telah mengakui dan memberikan hak LGBT. Pengakuan tersebut ditandai dengan angka nol, angka satu, angka dua dan tanda bintang.
“Kita lihat negara dengan angka nol di layar ini berarti negara tersebut sedang menggodog dan mengamandemen konstitusinya untuk mengesahkan undang-undang pengakuan LGBT. Angka satu adalah negara yang sudah mengakui LGBT. Angka dua adalah negara-negara yang telah memberikan buku nikah untuk pernikahan sejenis. Tanda bintang adalah negara yang telah memberikan hak penuh selain melegalkan, pelaku LGBT juga diberikan hak pencatatan buku nikah, juga data imigrasi berupa passport,” paparnya.
Namun, pengajar mata kuliah Islamic Worldview di Universitas Ibn Khaldun Bogor ini bersyukur, sampai saat ini belum ada negara Muslim yang mengakui maupun memberikan hak-hak LGBT.
“Contoh negara yang bertanda bintang adalah Prancis. Angka 1 adalah Jerman, Vietnam, Israel. Angka 0 adalah Burma, Myanmar. Alhamdulillah negara muslim belum ada”, syukurnya.
Kajian yang bertemakan “Homo Politic dan Problem relativitas Nilai dalam Peradaban Barat” ini tidak hanya membahas Homo Politic semata, namun juga memaparkan sejarah LGBT dalam dunia Barat pada masa lalu.
“Pada masa Yunani Kuno, Plato dalam bukunya Shimphosium melarang dan menentang aktifitas homoseks, Romawi Timur juga melarang.
Hukuman bagi pelaku sodomi adalah hukuman mati atau paling ringan hukum penjara seumur hidup. Hal ini terkenal dengan sebutan Code of Justinian”, jelasnya. Selain itu, di Kerajaan Inggris juga pernah berlaku pelarangan homoseks.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Pelarangan homoseks juga berlaku di kerajaan Inggris yang terkenal dengan Henry King Rule. Hal ini berlaku hingga tahun 1970.”, terangnya.
Namun, ibu dari dua anak ini juga menyayangkan, Napoleon Bonaparte menganulir hukuman untuk para pelaku sodomi saat ia menjadi Raja.
“Pada masa Napoleon lah hukuman untuk pelaku sodomi di anulir. Terkenal dengan nama Napoleon Code (Kode Napoleon, red). Hal tersebut berlaku di Romawi Barat hingga seluruh ekspansi negara jajahannya seperti Prancis yang ketika itu bersuku
Indonesia yang notabene jajahan Belanda, lanjut Dinar, mengikuti adopsi hukum dari Prancis. Karena Belanda adalah negara yang dijajah oleh Perancis. Maka hukum terkait sodomi di Indonesia tidak ada.*/ Agastya Hardjunadi, Sarah (Jakarta)