Hidayatullah.com–Ilmu bukanlah sekedar banyaknya informasi yang ditahu atau dihafal. Ilmu adalah apa yang membekas pada ibadah dan akhlak. Jadi yang terpenting adalah apa jejak manfaat dari ilmu yang dipelajari selama ini.
Nasihat tersebut disampaikan oleh Wakil Rektor IV Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, Dr. Nirwan Syafrin dalam satu kegiatan taushiyah kepada puluhan mahasiswa UIKA, belum lama ini.
Menurut Nirwan, kumpulan informasi dan keluasan wawasan yang dipunyai tidak lantas menjadikan seorang Muslim menjadi orang berilmu. Biasanya, orang lalu dianggap berilmu jika punya banyak hafalan atau jawabannya mengalir ketika ditanya orang lain.
“Jika hanya itu standarnya, berarti mesin pencari google itu adalah orang yang paling berilmu,” ujar Nirwan.
“Mau cari apa saja, pasti dijawab oleh google. Tapi kenapa google tidak disebut sebagai alim atau ulama?” lanjut Nirwan dengan nada tanya.
Dalam acara yang digelar di Masjid al-Hijri II, Kampus UIKA ini, Nirwan lalu menceritakan, suatu ketika Imam al-Ghazali memberi nasihat kepada murid-muridnya. Bahwa kumpulan ilmu pengetahuan itu tidak cukup mengantarkan seseorang ke dalam surga. Sebab produk dari sebuah ilmu adalah amal kebaikan yang membuat orang itu kian dekat kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
“Ilmuka al-mujarrad la yaquduka ila al-jannah” (ilmumu semata tidak (bisa) mengantarmu ke surga), demikian Nirwan mengulang perkataan Imam al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad al-Habib.
Lebih jauh, peneliti Institute for The Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) ini juga menjelaskan tips agar ilmu yang dipelajari itu bisa bermanfaat.
Secara filsosofis, ilmu adalah tibanya makna ke dalam jiwa dan tibanya jiwa kepada makna. Yaitu adanya integrasi ilmu antara iman dan amal serta adab seseorang, demikian penjelasan mengutip pendapat tokoh pendidikan Melayu, Prof Dr Naquib al-Attas.
Olehnya, menurut Nirwan, seorang kaum Orientalis atau non Muslim tak bisa disebut orang berilmu meskipun secara kasat mata ia memiliki segudang hafalan dan pengetahuan.
Sebab apa yang dia tahu tapi tidak pernah diyakini sebagai bagian dari keimanan dirinya dan tak membuahkan amal kebaikan sedikit pun.
“Mereka hanya menguasai sejarah dan ilmu tentang Islam semata,” papar Nirwan menerangkan.*