Hidyatullah.com– Ketua Umum Pimpinan Pusat (Ketum PP) Muhammadiyah, Haidar Nasir menyebutkan bahwa pada dua muktamar terakhir (2010 dan 2015), Muhammadiyah mencoba mengeluarkan pernyataan yang terkait dengan isu keumatan.
“Pertama, muktamar 2010, ketika isu tentang Pluralisme, Sekulerisme dan Liberalisme muncul begitu rupa, kita mengeluarkan penyataan resmi bahwa Muhammadiyah memandang Pluralitas sebagai sunnatullah, dan mengingkarinya sebagai bentuk pengingkaran terhadap sunnatullah.” kata Haidar dalam sambutannya pada acara diskusi publik dan peluncuran buku “Fikih Kebinekaan” di Aula Gedung Dakwah PP Muhammadiyah, Jalan Menteng, Jakarta, Kamis (21/08/2105) malam.
Tetapi, Haidar menegaskan, jika Muhammadiyah menolak Pluralisme yang mengarah kepada Sinkretisme, Sintetisme dan Relativisme. Dan, lanjutnya, itulah sebuah pandangan muhammadiyah terhadap Pluralisme.
Kedua, kata Haidar, pada muktamar 2015 kemarin, dimana Muhammadiyah mengeluarkan beberapa poin pernyataan tentang keumatan, di antaranya menengarai adanya takfiri, mengajak umat kepada pemahaman yang lebih subtantif tentang agama dan juga menawarkan adanya dialog termasuk dialog Sunni dan Syiah.
“Dialog itu sebagai sesuatu yang memang harus dibuka di ruang publik tanpa ada kecemasan, kecurigaan dan ketakutan,” ujar Haidar.
Sebab, menurut Haidar, ketika dialog tersebut ditutup, justru nanti akan menimbulkan potensi-potensi laten terjadinya konflik. Dan di lingkungan teman-teman Kristen maupun Katholik, lanjutnya, ternyata pertumbuhan pemikiran, sekte dan berbagai kelompok juga begitu banyak dan beragam.
Hal itu, kata Haidar, menjadi sebuah realitas baru di dalam kehidupan yang apabila dibaca secara sosiolgis ketika masyarakat semakin modern, garang, serta berhadapan dengan realitas instrumental itu, maka orang akan lari kepada nilai-nilai sublame yang mungkin tarikahnya berbeda, entah itu yang jarak pandang (berpikir)nya jauh maupun pendek.
“Nah, untuk jarak pandangnya yang pendek inilah kemudian menemukan serpihan-serpihan pandangan keagamaan orang yang ekslusif, dan bahkan sampai batas tertentu bersifat radikal,” pungkas Haidar.*