Hidayatullah.com– Penyakit hubuddunya (cinta dunia,red) merupakan bagian dari kesombongan sekaligus juga awal mula penyebab kecelakaan bagi manusia di dunia dan akhirat.
Demikian dikatakan Ketua Dekan Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor, Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin menanggapi fenomena kehidupan manusia yang semakin berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan di dunia.
“Bagi orang beriman, dunia itu dikuasai dalam genggaman bukan untuk dimasukkan di dalam hati,” ungkap kyai Didin menerangkan kisah Qarun dalam Qur’an Surah al-Qashash ayat 78, di hadapan jamaah Masjid al-Hijri I, Bogor, Ahad (30/08/2015).
Lebih lanjut, kyai Didin menjelaskan tentang prinsip-prinsip kebahagiaan dalam Islam. Kebahagiaan bagi seorang muslim, menurutnya, terletak pada sikap dan hati, bukan tergantung pada materi atau angka-angka.
“Ada orang yang punya harta mencapai milyaran hingga trilunan rupiah. Tapi ternyata tidur pun susah dan tak mampu,” jelas kyai Didin.
“Ini yang disebut dengan amilatun nashibah. Ia sendiri yang capek ngitung duitnya,” imbuh dosen sekaligus Guru Besar Insitut Pertanian Bogor ini.
Berbeda halnya dengan orang-orang shalih terdahulu, kata kyai Didin, mereka bekerja di dunia tetapi orientasinya tetap cinta kepada akhirat, bukan kepada dunia. Orang yang menjadikan dunia sebagai tujuan akhir, menurutnya, biasanya akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan tujuannya.
“Terjadilah saling fitnah, saling bermusuhan dan menjatuhkan sesama manusia,” ujar kyai Didin memberi contoh.
Menurut kyai Didin, kesombongan Qarun di masa Nabi Musa adalah cikal bakal virus sekularisasi agama sekarang. Seperti dikisahkan di dalam al-Qur’an, jelas kyai Didin, Qarun saat itu dengan angkuh mengaku bahwa harta yang ia dapatkan adalah hasil dari kerja kerasnya semata. Ia merasa tak ada peran siapa-siapa dalam kesuksesan dirinya menjadi konglomerat di masa itu. Singkat cerita, lanjutnya, Qarun lalu dibinasakan karena kesombongan dan cinta dunia tersebut.
Kyai Didin pun mengingatkan seluruh umat Islam agar tidak membiarkan negara ini dikuasai oleh orang-orang yang tidak paham agama. Sejarah membuktikan, peradaban umat Islam runtuh ketika pemerintahan dan urusan-urusan negara dikelola orang-orang yang tidak bertakwa.
“Takwa itu ada di mana-mana. Di jalan raya, di pasar, di kantor, jadi guru, jadi murid, semuanya harus dijalani dengan takwa,” pungkas kyai Didin yang juga Pembina Pondok Pesantren Mahasiswa dan Sarjana (PPMS) Ulil Albab Bogor, Jawa Barat./* Masykur Abu Jaulah.