Hidayatullah.com--Tantangan dakwah umat Islam sekarang semakin komplek, selain pemurtadan, aliran sesat, juga liberalisasi. Belum lagi masalah ekonomi umat Islam, akhlak, dan moral.
“Karena itu, ini menjadi tantangan dakwah bersama ormas Islam lainnya. Jadi mari bersama-sama untuk membina umat,” kata Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) yang baru saja terpilih, Drs Mohammad Siddiq MA, saat acara silaturahim dengan media Islam di Jakarta pada Ahad (08/11/2015).
Pada acara tersebut, Siddik memaparkan sejarah terbentuknya DDII atau yang sering disingkat dengan Dewan Da’wah. Menurutnya, Dewan Da’wah lahir pada 26 Februari 1967 sebagai lembaga islah untuk memperbaiki keadaan umat maupun bangsa Indonesia. Ketika mendirikan Dewan Da’wah, Mohammad Natsir, tokoh Masyumi dan mantan Perdana Menteri RI mengundang para tokoh dari berbagai organisasi umat Islam di Indonesia.
“Pak Natsir, dulu berdakwah lewat jalur politik, sekarang kita berpolitik melalui jalur dakwah,” ujar Siddik.
Pada kesempatan tersebut, Siddik, yang mantan Direktur Islamic Development Bank (IDB) Regional Asia Pasifik juga menyampaikan beberapa kegiatan lembaga yang kini dipimpinnya.
Dewan Da’wah, kata Siddik, meski dalam keterbatasannya terus berupaya mencetak para dai yang akan diterjunkan ke masyarakat.
“Selain Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Mohammad Natsir, kami juga mendirikan Akademi Da’wah Indonesia (ADI). Kami melakukan daurah-daurah untuk para dai dengan berbagai keterampilan, seperti pertanian, perkebunan, dan peta dakwah agar para dai lebih jeli menguasai medan dakwah,” ujarnya.
Selama dua tahun, lanjut Siddik, para mahasiswa tersebut akan dididik dan digembleng mental spiritualnya agar menjadi dai-dai yang tangguh. Setelah itu mereka akan ditugaskan ke daerah pelosok dan pedalaman.
“Setelah selesai bertugas di daerah para lulusan ADI bisa mengambil program sarjana di STID Mohammad Natsir. Dan, setelah lulus sarjana mereka akan kembali lagi mengemban dakwah ke daerah,” ungkapnya.
Menurut Siddik, Ustadz Syuhada Bahri telah menjalankan amanahnya dengan baik. Setelah beliau mengundurkan diri tidak ada yang mau menggantikannya.
“Ibaratnya saya seperti orang mau shalat, lalu mempersilahkan yang lain maju, tapi tidak ada yang mau maju. Sudah iqamah, masih belum ada yang mau maju. Lalu saya ditunjuk, berulang kali saya tolak, tapi saya pikir kalau saya tidak maju kedepan untuk memimpin shalat, saya takut kalau berdosa. Makanya saya terima dengan segala kelemahan dan kekurangan saya. Karena itu, saya siap bekerjasama dan menerima masukan-masukan,” pungkas Siddik.*