Hidayatullah.com- Presiden Joko Widodo telah meletakkan batu pertama (groundbreaking,red) rencana proyek pembangunan Kereta Api Cepat (KAC) Jakarta-Bandung di Cikalong Wetan, Bandung Barat, pada 21 Januari 2016 lalu.
Setelah groundbreaking itu, dikatakan oleh Marwan Batubara dari Indonesian Resourees Studies (IRESS) justru terjadi kisruh rencana proyek pembangunan KAC. Bahkan menuai banyak penolakan dan gugatan dari berbagai kalangan masyarakat.
“IRESS minta pemerintah melakukan kajian ulang sebab keputusan proyek pembangunan KAC itu tidak diambil melalui kajian komprehensif yang melibatkan seluruh kementerian serta lembaga negara terkait. Sehingga, berbagai persyaratan kelayakan proyek tersebut, termasuk perijinan belum diperoleh hingga saat groundbreaking dilaksanakan,” jelas Direktur Indonesia Resources Studies Marwan Batubara dalam diskusi publik dengan tajuk, “Stop Pembangunan Kereta Api Cepat (KAC) Jakarta-Bandung” di Bilangan Senayan Jakarta, Selasa (02/02/2016) kemarin.
Atau bahkan, lanjut Marwan, proyek pembangunan KAC diperhentikan total karena dianggap tidak sesuai dengan visi dan misi Nawacita (membangun dari pinggiran,red) yang selama ini selalu diusung oleh Presiden Jokowi.
“Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) proyek patut diragukan karena hasil kajiannya hanya diselesaikan dalam waktu sangat singkat (seminggu) atas desakan Presiden Jokowi,” ujar Marwan.
Lebih lanjut lagi, disebutkan Marwan, proyek pembangunan KAC Jakarta-Bandung ini lebih didominasi oleh pertimbangan aspek bisnis dibanding pembangunan yang justru seharusnya mempertimbangkan juga aspek-aspek ekonomi, politik, sosial serta budaya, pertahanan, keamanan dan lain-lain.
“Dikhawatirkan proyek KAC Jakarta-Bandung ditumpangi oleh berbagai kepentingan bisnis para pengusaha dan investor pengembang yang akan membangun sejumlah proyek properti di sepanjang jalur lintasan KCA,” cetus Marwan mengimbau.
Menurut Marwan, penyusunan rencana pembangunan KCA tersebut ditengari telah melanggar prinsip tata kelola dan kehati-hatian pengambilan keputusan atau penyelenggaraan negara yang baik (good goverment) serta masalah fisik jalur kereta yang dikhawatirakan rawan terjadi gempa dan disebutkan juga daerah yang rawan longsor.
“Kalau memang harus di-stop yah di-stop saja, Presiden tak perlu berambisi untuk terus melanjutkan proyek KAC tersebut apalagi ada pengembang yang menunggangginya,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Marwan, pemerintah dituntut juga untuk selalu menjadikan kepentingan negara maupun rakyat sebagai pedoman utama mengambil kebijakan dan menetapkan keputusan terkait pembangunan infrastruktur, bukan justru memenuhi kepentingan investor asing, pengusaha properti dan segelintir orang yang berburu rente.
“Presiden Jokowi harus memperhatikan kondisi ekonomi dan keuangan negara, bukan hanya sekadar mengejar ambisi yang tak terkendali dan bahkan juga mengorbankan kedaulatan serta harga diri bangsa,” pungkas Marwan.
Marwan khawatir terjadinya penggelembungan biaya proyek mengingat biaya kereta cepat Jakarta-Bandung mencapai 5,5 miliar dolar AS untuk jarak 142,3 km atau sekitar 38,5 juta dolar per km. Padahal sejumlah protek kereta api cepat lainnya. dapat dibangun lebih murah seperti Teheran- Isfahan 2,7 miliar dolar AS untuk 400 km.
“Ditenggarai keputusan pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung lebih didominasi oleh keinginan donor yakni China bukan atas keputusan pemerintah RI sendiri. Apalagi, proyek KAC tidak termasuk dalam proyek prioritas nasional sebagaimana Proyek Tol laut yang selama ini dikampanyekan oleh Presiden Jokowi,” imbuhnya.
Hadir sebagai pembicara dalam acara diskusi publik yang digelar oleh IRESS bekerjasama Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah seperti Hafidz Tohir (Ketua Komisi VI DPR RI), Candra Tirta Wijaya (Mantan Anggota DPR RI 2009-2014 dan Pakar Politik Luar Negeri), Dr. Yayat Supriatna (Pakar Transportasi dari Univ. Trisakti Jakarta), serta Agus Pambagio (Pakar Kebijakan Publik).*