Hidayatullah.com– Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menilai, penyelesaian kasus penyanderaan 3 WNI di perairan Malaysia pada 9 Juli 2016 yang diduga dilakukan oleh Abu Sayyaf harus dilakukan dengan pendekatan baru.
“Untuk menangani masalah penyanderaan-penyanderaan WNI ini diperlukan pendekatan baru yang komprehensif. Membebaskan sandera itu jangka pendek,” demikian ujar anggota Komisi I DPR RI, Selasa (12/07/2016) di Jakarta.
“Ibaratnya menyembuhkan sakit, fokus kepada pembebasan sandera itu cuma menyembuhkan gejalanya. Maka perlu kita sembuhkan penyebab utama penyakitnya sebagai solusi jangka panjang. Penyebab utamanya adalah soal politik internal Filipina, mungkin ada ketidakadilan dan kesenjangan pembangunan di sana. Karenanya kita desak pemerintah Filipina untuk bisa meredam konflik ini, bahkan kalau bisa “berdamai” dengan mereka. Mungkin Indonesia bisa dijadikan contoh saat menangani konflik GAM di Aceh,” tambah Sukamta.
Menurutnya, kasus seperti ini tercatat sudah berulang kali dalam enam bulan terakhir. Sebelumnya ada penculikan 7 WNI, ABK kapal TB Charles dan tongkang Robby pada 20 Juni 2016 lalu.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera ini menambahkan faktor penyebab berikutnya adalah kurang amannya kawasan. Wilayah perairan perbatasan seringkali menjadi wilayah yang rawan aksi perompakan. Sehingga perlu dilakukan kerjasama lintas negara untuk sama-sama menjaga keamanan perbatasan.
Sukamta pun melanjutkan, pendekatan komprehensif jangka pendek yang bisa dilakukan adalah operasi militer bersama secara reguler yang melibatkan tentara gabungan trilateral Indonesia-Filipina-Malaysia.
TNI dan Polri memiliki pasukan elit yang mumpuni untuk membebaskan sandera. Tapi perlu diingat bahwa tugas utama TNI dan Polri adalah membebaskan sandera. Sebisa mungkin meminimalisasi penggunaan senjata pembunuh, kecuali memang tidak ada jalan lain.
Menurut Sukamta, selain operasi militer gabungan, untuk jangka panjangnya perlu dilakukan kerja sama pertahanan antarnegara, khususnya kerjasama trilateral tentang keamanan maritim. Dengan Malaysia, Indonesia memiliki kerjasama pertahanan bilateral bernama Elang Malindo. Demikian juga dengan Filipina, Indonesia memiliki hubungan bilaterl adalam bidang pertahanan. Nah, ini diperkuat dengan kerjasama trilateral tadi.
Doktor lulusan Salford University, Manchester, Inggris ini menekankan bahwa pendekatan komprehensif jangka panjang bisa dilakukan dengan second track diplomacy. Yaitu diplomasi dilakukan lewat pemerintah, misalnya antara Kementerian Luar Negeri, dan Pertahanan RI dengan kementerian serupa di Filipina dan Malaysia.
Selain itu diplomasi juga dilakukan lewat parlemen antara tiga negara. Tujuan perjuangan kita dengan diplomasi ini adalah kestabilan kawasan. Sebagai sesama anggota ASEAN, kita mendorong dan memberi masukan kepada pemerintah Filipina agar bisa menyelesaikan konflik dengan MNLF, MILF dan kelompok Abu Sayyaf yang sudah berkepanjangan ini.
“Tapi kita musti tetap waspada, jangan sampai kita terseret arus perang yang bukan perang kita. Jangan sampai kasus-kasus penyanderaan yang berulang ini mengalihkan fokus perhatian kita dari potensi konflik yang sesungguhnya lebih besar seperti Natuna, Laut Tiongkok Selatan, dan seterusnya,” ujar wakil rakyat dari Daerah Istimewa Yogyakarta ini.*