Hidayatullah.com–Tindakan presiden yang memilih lari dari umat Islam dalam Aksi Damai Bela Quran Jumat 4 Nopember 2016 atau Aksi Damai 411 dinilai karena informasi sepihak dan bisikian intelijen partikelir.
Hal ini disampaikan pengamat kontra terorisme dan Direktur CIIA Harist Abu Ulya mengatakan kasus ini menjadi indikasi Jokowi mengambil masukan intelijen yang masih mentah dan belum sampai level atas.
“Informasi yang beredar pak Jokowi mengambil informasi dari intelijen yang bukan jalur resmi yakni Badan Intelijen Negara (BIN). Tapi, dari badan intelijen swasta, atau intelijen partikelir atau intelijen outsourching. Dan kalau saya menduga (intelijen) ini dari timnya Ahok,” kata Harist saat dihubungi hidayatullah.com, Kamis (10/11/2016).
Sebelum ini dalam acara di Gedung Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (08/11/2016) Presiden Jokowi mengatakan, dirinya mendapat informasi salah dari intelijen jumlah peserta hanya sekitar 18 ribu orang. Namun fakta di lapangan jumlahnya justru di atas satu juta sementara jumlah aparat yang dikerahkan hanya 16 ribu.
Dan yang paling krusial adalah, lanjut Harist, mereka (intel partikelir) tidak punya orang untuk menkofirmasi soal analisa yang mereka lakukan merujuk atau mengandalkan data-data open source atau cyber space informasi yang berasal dari media.
“Tentu, hal seperti ini tidak akan bisa terkonfirmasi dengan data-data dan dinamika yang sebenarnya terjadi di lapangan,” jelas Harist.
“Itulah yang menjadikan masukan mereka (intel partikelir) kepada pak Jokowi invalid. Contoh, tentang soal jumlah demonstran yang akan hadir,” imbuhnya.
Menurut Harist, kalau mereka (intel partikelir) peka bahwa demonstrasi sudah tidak bicara lagi mengenai kepentingan Pilkada 2017, tapi lebih kepada suara hati, gerakan moral dan tuntutan akidah serta juga melihat gejala dari mana saja para demonstran akan datang, seharusnya mereka bisa memprediksi seberapa besar massa aksi.
“Ya, minimal 500 ribuan. Bukan lagi 18 ribu atau 30 ribu saja. Menurut saya ini sangat konyol. Ditambah lagi mereka hanya menggunakan data open source dari berita-berita media saja. Ini bukan perilaku Intelijen yang high quality,” terangnya.
Tindakan Presiden Jokowi Tinggalkan Aksi Damai 411 karena Informasi Intelijen yang Menyesatkan
Seharusnya, masih menurut Harist, mereka (intel partikelir) punya orang-orang yang berada di tengah-tengah pergerakan aksi 411 dan bisa membaca betul dinamika yang ada di dalamnya. Karena itu, sikap Jokowi menilai aksi 411 dengan bersandar pada intelijen partikelir justru menunjukkan betapa Jokowi membangun sebuah sikap yang tidak disandarkan pada sesuatu analisis data yang matang.
“Saya yakin seharusnya BIN punya alat yang cukup untuk menyodorkan anggotanya kepada Jokowi kemudian memberi rekomendasi-rekomendasi yang relevan.
Kata Harist, ini menunjukkan bahwa soal intelijen adalah soal kepercayaan. Yaitu soal siapa yang dipercaya oleh seorang presiden untuk memberikan informasi.
“Kalau memang Jokowi nggak percaya sama BIN, ya mau gimana lagi. Jokowi percaya dengan informasi-informasi yang justru bukan dari saluran resmi.
Dan ternyata, kali ini Jokowi kecelik, informasi yang disampaikan Intelijen partikelir atau intelijen outsourching ini tidak pas (menyesatkan). Dan ini sangat menampar dunia intelijen,” tutup Harist.*