Hidayatullah.com–Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat (Sumbar), Buya Gusrizal Gazahar menyatakan, orang yang menganggap bahwa fatwa, khutbah, tausiyah, dan rekomendasi ulama sebagai penyebab rusaknya kebhinekaan, tidaklah jauh berbeda dengan sikap kaum musyrikin Makkah di masa jahiliyyah terhadap dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam.
Buya menyitir kalimat ‘Utbah Ibn Rabi’ah ketika meminta Rasulullah saw berhenti dari dakwahnya yang menyebut Nabi Muhammad telah membawa kepada kaumnya suatu perkara sangat besar yang memecah belah persatuan.
“Bila begini pemahaman Bhinneka Tunggal Ika yang hadir dalam pemikiran para penyelenggara negara, terpaksa harus dibongkar pasang susunan wawasan Nusantara yang dahulu pernah diterima,” ujarnya dalam pernyataan yang diterima hidayatullah.com.
Soal Fatwa MUI, Amien Rais Anjurkan Kapolri Berpikir sebelum Bicara
Buya mengungkapkan, Bhinneka Tunggal Ika adalah kemajemukan yang diakui eksistensinya dalam bingkai kesatuan bukanlah usaha untuk menghilangkan kemajemukan untuk mewujudkan persatuan.
Ia juga menegaskan, bahwa fatwa, khutbah, dan taushiyyah ulama adalah petunjuk yang diambil dari sumber ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan Sunnah untuk umat Islam, bukan untuk umat lain.
“Tugas penyelenggara negara untuk menjamin agar pesan itu sampai dan nyaman diamalkan oleh kaum muslimin. Ini merupakan amanat undang-undang dasar,” ungkapnya.
Menurutnya, kelambatan dan kelalaian menyikapi yang menjadi penyebab resah dan gerahnya kaum muslimin. Bukan fatwa yang menjadi penyebab, tapi penolakan dan kecemasan penyelenggara negara yang justru menjadi pemicu keresahan.
Karenanya, terang Buya, kalau fatwa yang dijadikan kambing hitam keresahan bahkan sampai menuduh sebagai pemicu rusaknya kebhinnekaan, apa bedanya dengan ‘Utbah Ibn Rabi’ah yang menentang dakwah Rasulullah Shalallahu’ Alaihi Wassallam.
“Jawablah dengan sisa keimanan yang masih tertinggal di dalam hati tuan jika masih ada,” pungkasnya.*