Hidayatullah.com– Ketua Presidium Gerakan Indonesia Beradab (GIB), Bagus Riyono menilai, argumen pendukung lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang mengatakan negara tidak boleh memasuki ruang seks warga negara karena merupakan ranah privasi, sebagai suatu hal yang tidak konsisten.
Hal itu, terang Bagus, karena justru mereka adalah kelompok yang mengikuti paham bahwa agama tidak boleh ke ranah publik dan mereka membawa seks ke ranah publik.
“Gerakan mereka justru membuat seks jadi ranah publik. Tapi ketika negara mau mengatur, mereka berbalik. Jadi tidak konsisten,” ujarnya kepada hidayatullah.com di sela-sela acara Kongres Keluarga Indonesia ke-2 di Jakarta, Kamis (21/12/2017).
Dewan Pakar Asosiasi Psikologi Islam ini menjelaskan, paham tersebut dimulai oleh Sigmund Freud, yang dikenal sebagai ‘bapak psikoanalisi’, pada abad ke-19. Dimana masyarakat Eropa sebelum Freud tidak membicarakan seks di ranah publik karena seks itu masalah privat. Sementara agama waktu itu merupakan wacana publik. Lalu Freud mengemukakan sebuah filosofi bahwa pada dasarnya manusia itu adalah makhluk seksual atau esensi dari manusia adalah libido seksual.
Baca: Ketua GNPF: Merangkul LGBT untuk Menyembuhkan, Bukan Melegalkan
Sehingga, dikatakan Bagus, masyarakat waktu itu berubah menjadi masyarakat yang terbuka dalam masalah seks, kemudian menjarah agama ke ranah privat.
“Sampai-sampai di Amerika kalau guru mengajarkan agama di sekolah umum itu dituntut. Karena tidak boleh dibawa. Kecuali di sekolah agama atau di gereja,” ungkapnya.
Menurut Bagus, pendukung LGBT mengingkari pahamnya sendiri hanya untuk alasan supaya tidak ada yang mengatur masalah moralitas.
“Karena moralitas dianggap menghambat pemuasan seks,” tandasnya.*
Baca: AILA: Gugatan di MK Upaya Merekayasa Sosial, Bukan Kriminalisasi