Hidayatullah.com– Loyonya sektor industri dinilai oleh Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara, sebagai penyebab perekonomian Indonesia tidak bisa lari.
Dibandingkan sektor industri, kata dia, investor lebih suka berinvestasi ke sektor keuangan. Hal ini karena insentifnya kecil dan beresiko tinggi.
“Seorang investor menyimpan uang di deposito mengharapkan imbal hasil 4-5%, tanpa resiko. Bunga yang diperoleh merupakan insentif bagi si investor tadi. Sementara untuk masuk ke sektor riil seperti mendirikan pabrik, membeli mesin, dan merekrut tenaga kerja insentifnya kecil sekali dan resikonya besar,” terangnya kepada hidayatullah.com Jakarta, Jumat (19/01/2018).
Bhima melanjutkan, risiko perizinan ada di level RT dan RW. Bukan hal yang aneh, kata dia, mendengar pengusaha yang ingin membuat pabrik harus mengeluarkan ratusan juta bahkan proses pembebasan lahan mangkrak sampai 7 tahun karena mentok perizinan di tingkat RT.
“Oknum Ketua RT atau RW banyak yang terang-terangan meminta uang untuk keperluan Karang Taruna, perbaikan jalan hingga keperluan membeli tenda acara dangdutan. Irasionalitas ini menjadi dis-insentif bagi investor,” ujarnya.
Baca: Peneliti INDEF Ungkap Mengapa Ekonomi Indonesia Tak Bisa Lari
Sebenarnya, kata dia, insentif untuk berinvestasi di sektor industri sudah tertuang dalam 16 paket kebijakan. Namun sayangnya paket kebijakan hanya galak di atas kertas, tapi lemah di implementasi.
Menurutnya, paket kebijakan menjadi penting sebagai suplemen atau insentif tambahan bagi perekonomian.
“Agar latihan bisa maksimal, asupan suplemen harus ditambah kadarnya. Masih ada waktu untuk rombak ulang Paket Kebijakan, mana yang berjalan dan mana yang mangkrak perlu dipisahkan. Kemudian Pemerintah juga perlu keluarkan lebih banyak insentif fiskal dan non-fiskal, asalkan tepat sasaran pengusaha akan tancap gas,” sarannya.
Selain memberi insentif lebih banyak, tambahnya, Pemerintah perlu membuka mata bahwa sektor riil bergerak stagnan karena kepercayaan diri pengusaha sedang rendah.
Ia menilai kekhawatiran pengusaha yang enggan mengeluarkan uang untuk ekspansi usaha dan menambah kredit tidak lain karena soal aturan pajak. “Semakin galak target penerimaan pajak, semakin menciut kepercayaan untuk berinvestasi,” ujarnya.
Ia menyarankan, Pemerintah sebaiknya bijak dalam mengelola target penerimaan pajak. Jika target tahun 2018 penerimaan pajak naik 20% dari realisasi 2017, perkiraannya tentu banyak pengusaha yang lebih senang menaruh uangnya di saham atau deposito, ketimbang berurusan dengan petugas pajak.
“Jangan sampai ekonomi tak kuat berlari hanya karena urusan pajak,” pungkasnya.* Andi