Hidayatullah.com– Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah bidang Tarjih dan Tabligh, Prof Yunahar Ilyas, menjelaskan, pihaknya telah merumuskan tiga ciri atau syarat ulama.
Pertama, harus punya ilmu.
“Ilmu apa? Ya semua ilmu. Tapi paling berat al-‘ulum asy-syar’iyyah (ilmu syar’iah, Red),” ujarnya pada acara pembukaan Kongres Ulama Muda Muhammadiyah di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Selasa (30/01/2018).
Seorang ulama, kata dia, minimal harus menguasai al-‘ulum asy-syar’iyyah.
Seperti al-Qur’an dan ilmu-ilmunya, Hadits dan ilmu-ilmunya, fiqh dan ushulnya, sirah Nabawiyah, “dan ilmu-ilmu yang lain,” ujarnya di depan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, serta para peserta kongres.
Baca: KSHUMI Teguhkan Para Ulama-Dai Beramar Makruf Nahi Munkar
“Jadi memang itu menjadi syarat yang tidak boleh ditawar-tawar,” lanjut Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini. Ia menambahkan, seorang ulama juga dipersilakan menguasai ilmu-ilmu yang lain sebagai tambahan.
Ciri atau syarat ulama kedua adalah khasyatullah, punya rasa takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Seseorang yang mengaku ulama tak cukup hanya memiliki ilmu. Ia juga harus punya rasa takut kepada Yang Maha Mengawasi alam semesta. “Jadi ilmu tidak hanya sekadar untuk ilmu,” terangnya.
Ulama berilmu tak sebatas untuk pengetahuan, untuk belajar, dan sebagainya yang serupa.
“Tapi memang (ilmu) untuk meningkatkan iman dan ketaqwaannya kepada Allah Subhanahu Wata’ala,” terangnya, seraya mengutip kutipan firman Allah pada al-Qur’an Surat Al-Fathir ayat 28: “Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama…”
Yunahar lantas berpesan kepada para pemuda, khususnya peserta kongres ulama muda, agar betul-betul punya rasa takut kepada Allah. Jangan sampai ilmu diperbanyak tapi tak sebanding dengan aplikasinya.
Misalnya, ia mencontohkan, pemuda berdiskusi hingga larut malam tentang Islam, hukum-hukum Islam, tapi malah terlambat shalat subuh.
“Diskusi sampai tengah malam, paginya telat shalat subuh, enggak boleh!” tegasnya.
Ciri atau syarat ketiga ulama harus adalah berada di tengah-tengah masyarakat. Ulama harus peduli dengan urusan umat dan masyarakat.
“Jadi bukan ulama belakang meja, ulama di perpustakaan, bukan itu aja, tapi ulama yang berada di tengah-tengah masyarakat… untuk mengingatkan,” terangnya.
Ketiga hal itulah yang menjadi syarat ulama. “Perkara muda atau tua itu tergantung,” imbuhnya.*