Hidayatullah.com– Kamis lalu di Kantor Kementerian Keuangan Jakarta, Indonesia [Pemerintah dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum)], serta Freeport McMoran Inc dan Rio Tinto menandatangani pokok-pokok perjanjian (Head of Agreement/HoA) soal divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI).
Nantinya, setelah proses penjualan selesai, kepemilikan Inalum di PTFI meningkat menjadi 51% dari sebelumnya 9,36%.
Dengan adanya HoA ini, pemerintah Indonesia berpeluang memiliki setara 51 persen saham PTFI, yang saat ini mayoritas masih dimiliki oleh Freeport-McMoRan Inc. (FCX).
Baca: IRESS Ingatkan Jokowi Tak Gegabah soal Kontrak Freeport
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara, menegaskan, perjanjian itu bukan berarti Freeport telah memenuhi kewajiban divestasi saham 51 %-nya.
“Belum selesai,” kata Bhima kepada hidayatullah.com, Sabtu (14/07/2018). “Kemarin itu, baru awal perjalanan. Bukan berarti Indonesia sudah sah beli saham. Masih banyak detail-detail perundingan. Di situ yang lebih penting untuk dikawal.”
Pemerintah, kata dia, baru hanya mengambil alih hak partisipasi Rio Tinto di tambang Grasberg dan mengambil alih saham PT Indocopper Investama.
Bhima mempertanyakan, mengapa pemerintah tidak menunggu saja tahun 2021 sampai kontrak Freeport habis, untuk kemudian baru diakuisisi. Sebab secara harga, fair value pasti jauh lebih murah.
Baca: Tolak Divestasi 51 %, Freeport Dinilai Ingkari Kesepakatan dengan Pemerintah Indonesia
“Valuasi saham juga menggunakan asumsi kontrak habis 2021, bukan 2041 seperti yang Freeport mau. Di sini jelas pemerintah salah langkah yang akhirnya terkesan pencitraan untuk raup elektabilitas 2019,” ujarnya.
PT Inalum, kata Bhima, merasa perlu mencari utang baru sebesar 74 T lebih. Sementara biaya akuisisi saham Freeport sekitar 56 T.
“Sisa 18 T buat apa? Ini harus dijelaskan ke publik. Karena nilainya cukup besar, jangan sampai utang mubazir. Tiap tahun harus bayar bunga. Kinerja keuangan BUMN pertambangan harus diperhatikan khususnya soal cashflow,” katanya menekankan.
Ia mempertanyakan, kapan periode pembayaran kembalinya dengan penyertaan modal 51%? Sementara operasional tetap di bawah kendali PTFI. “Cuma dividen kita yang naik,” katanya.
Baca: Hentikan Proyek Freeport
Bhima juga meragukan, apa benar cadangan emas Freeport sebesar itu? “Sudah puluhan tahun di gali masih tersisa emasnya? Saya kok ragu jangan-jangan kita dikasih ampasnya. Karena validitas data emas hanya sepihak dari Freeport.”
Menurut Bhima, ada empat langkah yang sebaiknya dilakukan pemerintah dalam hal ini. Pertama, melanjutkan audit kekayaan cadangan tambang PTFI termasuk deep mining yang selalu diklaim memiliki potensi emas besar tapi belum bisa divalidasi.
“Kedua, tidak melakukan pencitraan berlebihan dan tidak meninggalkan substansi divestasi saham Freeport,” lanjutnya.
Baca: Indonesia Negara Berdaulat, Freeport Harus Patuh UU Minerba
Ketiga, menegaskan bahwa pemerintah punya hak pengendali operasional Freeport termasuk penunjukan komisaris hingga direksi operasional. Sehingga seluruh proses bisnis Freeport menjadi transparan.
Dan yang terakhir, menyiapkan dana akuisisi sebagian untuk pembangunan smelter. “Sehingga tidak ada dana yang mubazir apalagi dana utangan ke 11 bank,” tutupnya.* Andi