Hidayatullah.com– Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri, mengatakan anggaran pendidikan 20 persen hanya formalitas.
“Jika ditelusuri, bahkan menurut Neraca Pendidikan Daerah yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, banyak kota dan kabupaten yang mengalokasikan kurang dari 10 persen APBD untuk pendidikan,” paparnya dalam siaran persnya kepada hidayatullah.com di Jakarta, Senin (20/08/2018).
Fikri mengatakan, sebetulnya pendidikan di Indonesia memiliki payung yang kuat dalam mendukung anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN dan APBD, demikian pula dengan regulasi berupa UU No 20 Tahun 2013.
Namun, ia menyayangkan 20 persen tersebut tidak sepenuhnya berada pada kementerian yang mengurus pendidikan.
Baca: KPAI Desak Pemerintah Penuhi Hak Pendidikan Anak Korban Gempa
“Dari Rp 440 triliun di APBN sekarang, hanya Rp 40 triliun ke Kemendikbud, Rp 40 triliun ke Kemenristekdikti, dan Rp 63 triliun di Kemenag. Artinya, 2/3 anggaran pendidikan banyak untuk K/L (kementerian/lembaga) lain bahkan Rp 200 triliun berupa transfer daerah,” jelasnya.
Dengan kondisi tersebut, menurutnya, wajar bila dari delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP), terdapat empat standar yang kategorinya sangat buruk menurut BSNP.
Fikri mengemukakan, dua SNP yang paling menonjol adalah mengenai sarana prasarana dan pendidikan dan tenaga kependidikan.
Ia menambahkan, “Tidak ada satu pun daerah yang tidak mengeluhkan dua standar ini.”
Sarpras misalnya, dari 1,8 juta ruang kelas yang ada, 1,3 juta dinyatakan rusak dan hingga kini pemerintah hanya memperbaiki sedikit saja, hanya yang rusak berat sebesar 250 ribu.
“Itu pun tahun 2018 ini hanya dialokasikan 25 ribu saja, sisanya diserahkan ke daerah sesuai UU No 23/2014,” terangnya.
Baca: 75 % Ruang Kelas di Indonesia Rusak, DPR Desak Penerbitan Perpres
Fikri juga menguraikan mengenai persoalan guru yang mengalami kekurangan 900 ribu.
“Saat ini belum ada skema pemenuhan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) dengan alasan klasik anggaran belum tersedia, sehingga diserahkan kepada sekolah sementara mereka tidak boleh diangkat menjadi honorer sesuai PP 48/2005,” ungkapnya.
Fikri menilai persoalan pendidikan ini karena bergantinya kebijakan secara berulang-ulang tiap terpilih pemerintahan yang baru. Begitu juga dengan kurikulum yang ganti setiap menteri baru ditunjuk.
Hal ini menurutnya karena belum ada grand design atau Rencana Induk Pendidikan yang jelas.
Ia yakin dengan rencana induk yang jelas, amanat konstitusi mengenai alokasi 20 persen anggaran bagi pendidikan tidak hanya formalitas belaka.*
Baca: Anies Diapresiasi Serukan Orangtua Antar Anak Hari Pertama Sekolah