Hidayatullah.com– Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyoal vonis terhadap musisi yang juga politisi Partai Gerindra, Ahmad Dhani Prasetyo.
Dhani dikenakan pasal 28 ayat (2) UU ITE yang dianggap menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan).
Fickar menilai, hakim tidak bisa mengidentifikasi individu atau kelompok mana yang berdasarkan SARA yang tersinggung dan merasakan adanya kebencian atau permusuhan atas kicauan Dhani di Twitter.
“Dalam konteks perkara AD (Ahmad Dhani) menyebut kebencian terhadap suku tertentu tidak ada, agama tidak juga, ras tidak juga,” jelasnya kepada hidayatullah.com di Jakarta, Jumat (01/02/2019).
Baca: Tagar #SaveAhmadDhani #AhmadDhaniKorbanRezim Membahana
Bagaimana dengan tafsir ‘antar golongan’? Meskipun hakim punya kebebasan menafsir, tapi, kata Fickar, harus jelas apa defenisi golongan itu.
Ia menerangkan, pengertian golongan masyarakat dalam pengertian juridiksi hukum itu sudah lama dihapus. Golongan Eropa, pribumi, dan timur asing, kata dia, sudah tidak ada lagi. Sebab hukum Indonesia sudah berlaku pada semua WNI, kecuali hukum yg bersifat privat seperti kewarisan dan lain-lain.
Baca: Fahri Hamzah: Penahanan Ahmad Dhani akan Turunkan Elektabilitas Jokowi
“Jadi tidak jelasnya pengertian golongan dan tidak adanya tweet yang menyebut ‘person’ dalam konteks SARA inilah ‘ruang karet itu’ yang bisa ditafsirkan hakim tanpa parameter dan reasoning (alasan) yang jelas. Putusan ini nampaknya tidak mengikuti kaidah “legal reasoning”, sehingga nampak terlalu dipaksakan,” ujarnya.
Ia menegaskan, penegakan hukum itu harus selalu ditopang oleh pembuktian yang nyata-nyata ada atau patut diduga ada kejadiannya. Bukan berdasarkan perkiraan semata.
“Karena hukum itu mengadili perbuatan. Bukan pikiran. Hukum juga harus berdasar bukti, bukan perkiraan,” ucapnya.* Andi
Baca: Ahmad Dhani Divonis 1,5 tahun dan diperintahkan ditahan