Hidayatullah.com– Pakar Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Mudzakir menilai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) menyalahi sistem hukum nasional.
“RUU P-KS berusaha untuk membangun sistem hukum sendiri di luar sistem hukum nasional Indonesia dan sistem hukum pidana nasional Indonesia yang berlaku sekarang (hukum positif). RUU P-KS telah mengatur secara menyeluruh dan mematikan pasal-pasal dalam hukum pidana,” urainya. Meliputi hukum pidana materil, hukum pidana formil, dan hak korban dalam setiap tahapan proses peradilan.
Secara filsafat hukum, Prof Mudzakir menilai RUU P-KS rancu. RUU PKS memusatkan perhatian pada aspek ‘kekerasan’, padahal, seharusnya dipusatkan pada aspek ‘seksualnya’.
“RUU P-KS yang dilarang kekerasan, bukan hubungan seksualnya. Selama tidak ada kekerasan, maka seksual dibolehkan. Padahal dalam agama, hubungan seksual dilarang (di luar ikatan perkawinan), apalagi seksual dengan kekerasan,” ulasnya. Lebih jauh, dari sisi fungsi hukum, Mudzakir menyebut, RUU P-KS bisa merubah tatanan idealita masyarakat.
“Materi hukum RUU PKS tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat hukum Indonesia sekarang,” ujarnya dalam Seminar dan Focus Group Discussion tentang RUU P-KS di Yogyakarta, Ahad (10/03/2019) yang digelar Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah kutip suaramuhammadiyah.id, Senin (11/03/2019).
RUU P-KS juga dinilai berpotensi memporak-porandakan tautan norma hukum dalam sistem nilai, sistem asas hukum, dan sistem norma hukum Indonesia.
Oleh sebab itu, Mudzakir justru merekomendasikan supaya RUU ini tidak perlu dibahas di legislatif.
“Kalau ada materi hukum yang belum diatur dalam hukum pidana dan RUU hukum pidana, sebaiknya diselesaikan berdasarkan ilmu hukum pidana,” ungkapnya.
Pemateri lain, anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Komisi Hukum dan Perundang-undangan yang juga Pakar Hukum Universitas Indonesia (UI) Dr Neng Djubaedah SH MH PhD, menyampaikan dalam perspektif hukum perdata/keluarga.
Baca: MTT Muhammadiyah Tak Sepenuhnya Menerima dan Menolak RUU P-KS
Ia menjelaskan, pasal-pasal dalam RUU P-KS justru bisa membuat rapuh kekokohan dan ketahanan institusi keluarga.
Terkait dengan pasal 11 tentang jenis-jenis kekerasan seksual yang dimunculkan, justru banyak yang terlalu lentur dan menimbulkan ragam penafsiran. Hal ini dikuatkan oleh anggota Majelis Tarjih, Ruslan Fariadi. Menurutnya, jika terburu-buru, RUU ini bisa bernasib sama dengan UU ITE misalnya, yang menjadi subversif gaya baru oleh karena kelenturan pasal karetnya.
Neng menyoroti pengertian kekerasan seksual yang seharusnya diganti kejahatan seksual. Neng melihat bahwa jenis delik kekerasan seksual dalam RUU P-KS bermasalah.
Termasuk, terangnya, dalam turunan penjelasan pasal 12 RUU PKS, misalnya, pertama: Yang dimaksud dengan “tindakan fisik” antara lain sentuhan, colekan, serangan atau cara-cara lain yang mengenai alat kelamin, atau anggota tubuh yang berhubungan dengan seksual dan seksualitas seseorang, termasuk (maaf, red) dada, payudara, pantat, dan rambut.
Kedua, tentang pelecehan seksual yang berupa “tindakan non fisik”, yaitu berupa siulan atau kedipan mata. Hal ini dinilai terlalu berlebihan ketika semuanya dibawa ke ranah pidana. Neng juga menyoroti poin pemaksaan perkawinan, terkait dengan komplikasinya dalam masyarakat adat, misalnya.
Baca: 4 Catatan Kritis PKS soal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Ia pun menekankan penolakannya terhadap RUU P-KS yang memang menuai kontroversi tersebut.
“RUU P-KS kering dari nilai-nilai agama, karena itu hendaknya ditolak. Karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religius (Pasal 29 UUD 1945),” ujarnya.
Ia menambahkan, jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual sudah diatur dalam berbagai undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya.
“RUU PKS jika disahkan dapat mendorong dan alasan kuat untuk diubahnya berbagai peraturan perundang-undangan,” ungkap Neng. Khususnya Undang-Undang Perkawinan, Pasal 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 (muhallil), Pasal 11 (iddah), Pasal 31, Pasal 65, dll., PP No 9 Tahun 1975, PP No 10 Tahun 1983 diubah dengan PP No 45 Tahun 1990, Kompilasi Hukum Islam, dan lain-lain.
Sementara itu, Pengurus Majelis Tarjih, Wawan Gunawan Abdul Wahid dan Ahmad Muhsin Kamaludingrat melihat bahwa RUU P-KS timpa-menimpa dengan UU Ketahanan Keluarga. Tidak perlu dimasukkan dalam undang-undang khusus atau lex specialis. Alih-alih membuat payung hukum baru, lebih baik untuk memperkuat sistem hukum yang sudah ada, terutama aspek ketahanan dalam keluarga. Selain itu juga perlu dilihat aspek maqashid-nya.
Diketahu, gelombang penolakan terhadap RUU P-KS sejauh ini cukup deras dari berbagai pihak. Teranyar, PP Salimah (Persaudaraan Muslimah) menegaskan bahwa organisasi perempuan itu menolak RUU P-KS.*